Stagnasi penjualan kendaraan bermotor khususnya mobil di Indonesia telah berlangsung sekira 10 tahun. Sejumlah faktor yang menjadi penyebab hal tersebut dibahas bersama dalam acara diskusi panel bertajuk “Solusi Mengatasi Stagnasi Pasar Mobil”.
Acara tersebut digelar oleh Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Rabu (10//7/2024).
Dalam diskusi hadir Putu Juli Ardika selaku Plt Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin. Turut hadir pula Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara, dan pengamat otomotif LPEM UI Riyanto sebagai pembicara dan nara sumber.
Dalam diskusi tersebut salah satu langkah kebijakan yang diusulkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) adalah pemberian insentif fiskal. Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM DTP) untuk pembelian mobil yang diproduksi di dalam negeri ditanggung pemerintah.
Hal ini diperlukan untuk mengatasi stagnasi pasar mobil domestik di level 1 juta unit pertahun dalam 10 tahun terakhir.
Pemberian insentif tersebut diyakini dapat mendongkrak penjualan mobil di pasar domestik Indonesia. Tentu saja harapan lainnya yakni menggairahkan perekonomian nasional.
Pihak Kemenperin berpendapat bahwa industri otomotif adalah salah satu sektor strategis yang memberi kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.
Pada tahun 2021 lalu saat terjadi pandemi Covid-19 pemerintah pernah mengucurkan insentif serupa. Hal tersebut dilakukan guna membangkitkan kembali gairah pasar otomotif yang lesu dan sempat terpuruk.
Saat program PPnBM DTP diberlakukan, berdasarkan data Kemenperin, penjualan mobil selama Maret-Desember 2021 melonjak 113 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Pada 2022, program tersebut sukses meningkatkan penjualan selama Januari-Mei menjadi sebesar 95 ribu unit.
Apakah insentif tersebut terbukti efektif? Ternyata tidak sepenuhnya demikian. Pasar mobil di Tanah Air memang bangkit pada tahun 2021 berkat insentif PPnBM. Namun, memasuki tahun berikutnya yakni 2022 hingga 2023 tak banyak peningkatan.
Penjualan mobil tak bergeser banyak dari kisaran 1 juta unit. Lantas jika dirasa tak terlalu efektif, mengapa kebijakan insentif fiskal ini harus kembali dilakukan?
Perlu Atau Tidak?
Lain halnya dengan Riyanto yang cukup lama dikenal sebagai pengamat otomotif. Berdasarkan kajian akademisi dari LPEM UI, dan Kemenperin, stagnasi penjualan mobil di Indonesia dipengaruhi oleh melemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Karena tidak dapat membeli mobil baru, maka mereka pun beralih untuk membeli mobil bekas.
Berkaitan hal tersebut ada dua solusi yang diusulkan, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Pemerintah maupun produsen jangan hanya terpaku bahkan terjebak pada angka penjualan mobil agar bisa menembus target melampaui 1 juta unit.
Untuk target jangka panjang, pertumbuhan ekonomi nasional harus berada di angka enam persen per tahun. Salah satu caranya yakni melalui re-industrialisasi. Porsi sektor industri manufaktur terhadap PDB setidaknya harus berada di kisaran 25-30 persen atau lebih.
Jika hal tersebut bisa tercapai, pendapatan per kapita kelompok ekonomi menengah atas pun akan naik kelas ke level ekonomi mapan. Daya beli konsumen secara tak langsung akan meningkat.
Jangka Pendek
Untuk target jangka pendek, pemerintah perlu merilis stimulus fiskal agar kelompok ekonomi menengah atas yang hampir masuk kategori makmur atau mapan dapat membeli mobil baru. Bentuknya bisa diskon PPnBM untuk jenis kendaraan LCGC dan low MPV 4×2.
Dengan adanya diskon PPnBM maka harga jual mobil pun menjadi lebih terjangkau. Penjualan mobil tentunya akan mengalami peningkatan. Makin banyak mobil yang terjual, produksi mobil dan suku cadang pun akan terdongkrak. Jika hal ini terwujud, maka akan terjadi kenaikan pendapatan pemerintah yang bersumber dari PPN, PKB, dan BBNKB. Pemasukan dari PPh badan dan PPh orang pribadi pun bertambah.
Peningkatan penjualan mobil juga akan turut mendongkrak perekonomian nasional. Mulai dari penambahan PDB, penyerapan tenaga kerja, hingga penanaman investasi.
Berdasarkan perhitungan Riyanto, insentif PPnBM nol persen untuk LCGC dan low MPV 4×2 bisa menambah permintaan pasar hingga 16 persen, atau setara 160 ribu unit. Penjualan mobil pun diharapkan bisa mencapai 1,2 juta unit pertahun.
Dengan insentif PPnBM sepenuhnya diperkirakan nilai penjualan akan mencapai Rp 306 trilliun. Sedangkan jika tanpa insentif hanya mencapai sekira Rp 298 triliun. Ini baru perkiraan kasar.
Mobkas Masih Jadi Solusi
Kukuh Kumara mewakili GAIKINDO selaku sisi produsen menyatakan, penjualan mobil domestik tertinggi sebesar 1,23 juta terjadi pada 2013. Saat itu pertumbuhan ekonomi mendekati 6% serta didukung program KBH2/LCGC.
Selepas itu, pasar mobil tak bergerak dari kisaran 1 juta unit, bahkan merosot ke angka 532 ribu unit pada tahun 2020 akibat himpitan pandemi Covid-19.
Memasuki 2024 penjualan mobil di pasar domestik kian merosot. Per Mei 2024, penjualan mobil turun 21 persen menjadi 334 ribu unit yang dipicu sejumlah faktor. Dipicu kenaikan suku bunga global dan pengetatan pemberian kredit dari perusahaan pembiayaan.
GAIKINDO pun akan merevisi target penjualan mobil 2024 jadi hanya 1,1 juta unit. Hal ini mempertimbangkan sejumlah faktor yang menekan daya beli pasar.
Apakah pelonggaran suku bunga untuk pembelian mobil baru secara kredit dapat menjadi salah satu cara mengembalikan minat beli masyarakat terhadap mobil baru?
Pasalnya, pasar mobil bekas (mobkas) sejak lama menjadi alternatif bagi konsumen Selisih harga mobkas dan mobil baru pun sangat signifikan.
Hal tersebut dikuatkan oleh Riyanto yang menyatakan bahwa penjualan mobkas tumbuh subur. Dari kisaran 0,5 juta unit di tahun 2013 menjadi 1,4 juta pada 2023. Hal tersebut didukung adanya skema pembelian secara angsuran kredit.
Kapasitas Jalan Tak Sebanding
Bagaimana dengan daya tampung ruas jalan raya yang kian tak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan bermotor? Hal ini tak hanya terjadi di JABODETABEK dan sejumlah kota besar lainnya seperti Medan, Bandung dan Surabaya serta Makasar.
Kotamadya dan kota kabupaten yang perekonomiannya mulai maju pun saat ini mengalami dampak nyata pertumbuhan kendaraan bermotor. Lalu lintas jalan raya jadi macet, terutama pada jam sibuk.
Perlu pula dilakukan berbagai kajian untuk mengatasi kepadatan arus lalu lintas. Jangan hanya mementingkan pertumbuhan produksi kendaraan bermotor demi profit. Perlu diingat, yang bertambah bukan hanya jumlah mobil tapi juga sepeda motor.
Lagi-lagi masyarakat pengguna jalan yang dikorbankan dan terkena imbas dari laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang kebablasan dan tidak dibatasi secara bijak.