Mahalnya Pajak Kendaraan di Indonesia Jadi Salah Satu Penyebab Penjualan Mobil Baru Nyungsep

21 May 2025 | 4:30 pm | Firdaus Ali

Mahalnya pajak kendaraan di Indonesia menjadi salah satu penyebab penjualan mobil baru turun. Hal ini diungkapkan oleh salah satu petinggi Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia).

“Penjualan mobil terkendala di pajak, lantaran berkontribusi 50 persen. Padahal, di Malaysia yang PDB per kapita lebih tinggi dari Indonesia hanya 30 persen. Pajak tahunan di Indonesia juga lebih mahal dari Malaysia,” jelas Kukuh Kumara selaku Sekertaris Jenderal Gaikindo (19/5).

Kukuh juga mengatakan bahwasanya tidak semua jenis kendaraan bermotor dikategorikan sebagai pajak barang mewah.

“Pemerintah perlu mempertimbangkan fakta bahwa mobil di harga tertentu bukan lagi barang mewah, melainkan dipakai untuk mencari nafkah. Dengan begini, pengenaan PPnBM ke mobil-mobil tertentu bisa dikaji ulang,” imbuhnya.

Indonesia Mengalami Krisis Otomotif

Pajak kendaran di Indonesia

Mahalnya pajak kendaraan di Indonesia menjadi salah satu penyebab penjualan mobil baru turun. Senada dengan Kukuh, Riyanto selaku Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia mengungkapkan bahwasanya saat ini Indonesia sedang mengalami krisis otomotif.

Riyanto menyatakan, industri mobil mengalami resesi, lantaran penjualan turun dalam dua tahun beruntun. Ironisnya, tahun ini berlaku opsen pajak di beberapa daerah.

“Jadi, ibaratnya industri mobil sudah jatuh tertimpa tangga. Oleh sebab itu, industri mobil, terutama ICE yang stagnan membutuhkan insentif,” kata dia.

Riyanto menyatakan, pemberian insentif berkorelasi kuat dengan penjualan. Contohnya, dengan model regresi, penjualan BEV yang mendapatkan insentif 57 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak.

Baca juga :  LG Cabut Investasi Ratusan Triliun di Indonesia, Apa Penyebabnya?

Oleh sebab itu, dia mengatakan, waktunya pemerintah memperluas insentif pajak, seperti PPN DTP ke mobil ICE, LCGC, hingga hybrid, dengan patokan emisi. Sebab, faktanya, emisi BEV berdasarkan metode well to wheel tidak lebih rendah dari hybrid.

Dia yakin, efek insentif LCGC, HEV, dan ICE lebih besar ke ekonomi dibandingkan BEV. Saat ini, BEV menghadapi tantangan berupa kecemasan jarak tempuh dan keterbatasan infrastruktur SPKLU.

Hal ini, kata dia, membuat BEV lebih diburu pemilik mobil kedua dan ketiga, bukan mobil pertama. Sebaliknya, mobil ICE, LCGC, dan HEV berpeluang menjadi mobil pertama, karena tak menghadapi tantangan tersebut.

“Dalam jangka pendek, perlu kebijakan fiskal seperti saat pandemi, entah itu diskon PPN atau PPnBM untuk menyelamatkan industri dari krisis. Hal yang penting adalah harga kendaraan turun,” imbuh Riyanto.

“Dalam jangka panjang, pemerintah perlu membuat kajian untuk menemukan tarif pajak ideal dari sisi industri dan negara. Intinya, jangan sampai industri dan masyarakat terbebani pajak yang kini 40% lebih. Tarif ini perlu dikurangi, mestinya pemerintah tak perlu takut rugi ketika memberikan pajak ke industri mobil. Sebab, dampak ekonomi insentif ini sangat besar.”

Hitungan Riyanto, pemberian insentif PPnBM 0% dapat menyumbangkan PDB 0,8% dan tambahan tenega kerja di otomotif 23 ribu dan dalam perekonomian (multiplier) 47 ribu orang.

5 2 votes
Article Rating

Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x