Pemerintah saat ini terus melakukan percepatan pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai beserta infrastruktur pendukungnya. Salah satunya melalui skema stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) dan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Terkait SPKLU, tentu tak terlepas dengan penggunaan colokan mobil listrik yang digunakan di Indonesia.
Prediksi pengembangan SPKLU mampu menelan biaya hingga Rp 12 triliun pada tahun 2030. Biaya tersebut untuk membangun sekitar 7.000 titik SPKLU. Sedangkan untuk SPBKLU, proyeksinya mencapai 22.500 unit pada tahun 2035 nanti. Masyarakat dapat mengisi ulang kendaraan bermotor listrik melalui SPKLU. Proses penukaran baterai kendaraan bermotor listrik dapat dilakukan melalui SPBKLU.
Skema bisnis tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020. Aturan ini merupakan pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Dalam regulasi tersebut, PLN mendapat tugas menyediakan infrastruktur SPKLU dan SPBKLU. PLN juga dapat berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk mengikuti skema bisnis tersebut.
Hanya Tiga Colokan
Seiring dengan hal tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga telah menetapkan tiga tipe stop kontak atau colokan mobil listrik yang akan digunakan di SPKLU. Ketiga tipe itu adalah AC Charging tipe 2 (Eropa), fast DC charging CHAdeMO (Jepang dan Amerika Serikat), dan DC Charging Combo tipe 2 CCS (Eropa).
Pengisian daya melalui AC charging, lazimnya terpasang pada panel-panel kecil seperti yang ditempel ke tembok (wallbox charging unit), atau model dengan tiang seperti yang disediakan PLN saat ini. Dilihat dari fisiknya, berbentuk bulat atau hampir bulat dengan tujuh pin di dalamnya. Biasanya, memiliki kemampuan pengisian sebesar 3-50 kW, dengan voltase 230 V atau 400 V.
Sedangkan untuk CHAdeMo, ini adalah sistem pengisian yang dibuat oleh konsorsium perusahaan Tokyo Electric Power Company dan lima pabrikan otomotif Jepang. CHAdeMo itu adalah singkatan dari Charge de Move. Tapi dalam bahasa Jepang ada juga istilah o CHA deMO ikaga desuka, yang kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, “Bagaimana kalau kita minum teh dulu?” Maksudnya, ini mereferensikan kalau waktu pengisian menggunakan CHAdeMo, layaknya kita nongkrong sambil minum secangkir teh.
Bentuk colokan CHAdeMo adalah bulat, dengan dua elemen konektor DC positif dan negatif serta dua lubang yang sepintas seperti kosong . Tapi tidak. Colokan ini bukan sekedar untuk melakukan kontak dengan SPKLU, tapi mampu mengirimkan data apakah sudah memungkinkan untuk melakukan pengisian ulang.
Kalau belum aman, sistemnya tidak akan menerima arus dari charger, dan charger tidak akan mengirimkan. Contohnya, kalau ada yang salah dengan baterai mobil, dicolok satu bulan pun, baterai tidak akan terisi. Dari mana komunikasinya? Lubang yang seperti kosong tadi, di dalamnya ada pi kecil yang berfungsi sebagai semacam sensor untuk mengirim data. CHAdeMo memiliki kemampuan untuk mengisi ulang hingga 400 kW (tergantung kondisi tentunya), dengan arus hingga 400 ampere.
Lalu CCS2. Ini adalah saingan CHAdeMo karena memiliki kemampuan yang mirip. CCS singkatan dari Combined Charge System yang biasanya, banyak digunakan di Eropa. Kenapa Eropa? Karena CCS adalah ide dari pabrikan otomotif di benua itu. Sesuai namanya, colokan ini memiliki dua tipe konektor untuk mengakomodir Type 1 dan Type 2 untuk pengisian dengan arus AC, plus, sambungan untuk pengisian cepat (DC). Makanya bentuknya besar dan, agak aneh.
Seperti CHAdeMo, soket ini bisa berkomunikasi dengan charger-nya. Terutama untuk masalah keselamatan. Kemampuan untuk menyalurkan energi listrik ke baterai pun mirip dengan versi Jepang itu.
Masa Depan SPKLU
Nantinya soket AC dan DC akan berada dalam satu panel pengisian daya, namun tetap ada perbedaan dalam komponen internalnya. Sehingga konsumen yang mau mengisi daya lebih cepat, bisa tetap mengandalkan colokan DC tanpa harus khawatir terganggu arus AC.
Dengan dilakukannya percepatan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia, mampu menjadi momen tepat untuk melakukan manuver industri yang berfokus pada perekonomian, namun tetap ramah lingkungan. Satu hal yang menjadi tantangan besar bagi pemerintah ialah melakukan transisi energi di bidang pembangkit listrik. Bagaimana menurut Anda?