BBM Pertalite Mau Diganti Pertamax Green 92, Sudah Siap?

Polemik antara emisi gas buang dengan kualitas bahan bakar seolah tidak pernah usai dibahas. Terlebih jika dikaitkan dengan dengan kondisi udara di kawasan Jakarta yang semakin memburuk, akibat polusi dari gas buang hasil pembakaran. Dalam hal ini emisi gas buang kendaraan pun terkena sorotan tajam dari banyak pihak. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun memberikan pernyataan terkait spesifikasi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang boleh dikonsumsi kendaraan bermotor.

“Kendaraan yang diproduksi sejak Oktober 2018 tidak boleh menggunakan bensin dengan nilai oktan (Research Octane Number/RON) di bawah 91,” kata Sigit Reliantoro, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O. Sehingga kendaraan yang diproduksi sejak Oktober 2018 seharusnya tidak diperbolehkan mengisi BBM jenis Pertalite (RON 90).

Pertalite mau digantikan Pertamax Green 92

PT Pertamina (Persero) telah menetapkan standar dan mutu BBM yang ramah lingkungan, dengan merilis BBM RON 95 dicampur bahan nabati bioetanol 5 persen atau E5. Langkah selanjutnya ialah mengganti Pertalite menjadi Pertamax Green 92 pada 2024 mendatang.

Etanol yang digunakan Pertamax Green 95 tersebut merupakan hasil molases tebu dan menjadi bahan bakar nabati terbarukan. Sedangkan Pertamax Green 92 merupakan produk pengganti Pertalite yang dibuat dengan campuran 7 persen etanol.

Pertamax Green 92 ini dinilai memiliki kadar oktan yang memenuhi syarat ramah lingkungan. Itu berarti, produk ini bisa menekan emisi karbon dan menekan jumlah impor gasoline (bensin) dari luar negeri. Dengan begitu, produk ini diproyeksikan dapat menjadi solusi pemakaian bahan bakar yang ramah lingkungan. Pertamina rencananya merilis Pertamax Green 92 pada 2024, sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dengan nilai oktan bensin minimal 91.

Kandungan nabati bioetanol bisa tekan emisi gas buang

Saat ini, Pertamina tengah melakukan kajian untuk meningkatkan kadar oktan bensin Pertalite (RON 90) menjadi RON 92 atau setara Pertamax. Dengan mencampur bensin Pertalite dengan etanol 7 persen (E7), sehingga dapat menjadi Pertamax Green 92. Diharapkan kandungan nabati di dalamnya dapat membuat produk bahan bakar ini menjadi lebih ramah lingkungan.

Tantangan berikutnya ialah ketersediaan etanol di dalam negeri. Hal ini harus turut diperhatikan, sebab produksi etanol di dalam negeri saat ini masih cukup terbatas. Sebagai catatan, saat ini baru ada satu perusahaan penghasil bioetanol di Indonesia, dengan total produksi sebesar 160 ribu kiloliter per tahun.

Namun dari jumlah tersebut, sekitar 115 ribu kiloliter dikonsumsi sendiri dan sisanya 45 ribu kiloliter baru dapat digunakan untuk produksi etanol. Sedangkan untuk penggunaan sebagai campuran bahan bakar, tentu diperlukan jumlah yang jauh lebih banyak. Jadi menurut Anda, siapkah negara ini menghapus Pertalite?

Bioetanol Bisa Pakai Bahan Dasar Singkong

Indonesia merupakan negeri yang memiliki sumber daya alam melimpah. Salah satu sumber daya alam tersebut ialah minyak bumi, yang selanjutnya dapat diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM), di antaranya termasuk bensin. Namun, dengan harga minyak bumi yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, tentu terus mempengaruhi harga bahan bakar minyak, tak terkecuali di Indonesia. Sejumlah penelitian pun dilakukan untuk mencari bahan bakar alternatif, di antaranya ialah bioetanol.

Etanol mampu menggantikan timbal

Etanol sendiri merupakan bahan bakar beroktan tinggi dan dapat menggantikan timbal sebagai peningkat nilai oktan dalam bensin. Dengan pencampuran etanol dengan bensin, maka dapat mengoksigenasi campuran bahan bakar, sehingga dapat terbakar lebih sempurna dan mengurangi emisi gas buang. Sebab etanol memiliki fisik berupa cairan bening tak berwarna dan mampu terurai secara biologis. Etanol yang terbakar akan menghasilkan karbondioksida (CO2) serta air.

Singkong jadi bahan bakar

Etanol dapat dibuat dari material alami atau menggunakan bahan dasar tumbuh-tumbuhan, yang dalam pembuatannya memanfaatkan mikroorganisme melalui proses fermentasi. Hasilnya ialah bioetanol. Keunggulan bioetanol adalah meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi zat yang dihasilkan seperti Hidrokarbon dan Karbon Monoksida (CO). Salah satu bahan baku yang dapat digunakan untuk membuat bioetanol adalah singkong. Ya, singkong…

Bioetanol dapat digunakan dalam bentuk murni atau sebagai campuran untuk bahan bakar bensin maupun hidrogen. Interaksi bioetanol dengan hidrogen bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi sel bahan bakar ataupun dalam mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) konvensional.

Singkong yang juga disebut sebagai ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman yang sangat populer di negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Singkong sendiri memiliki peran penting dalam aspek ekonomi dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain. Selain itu, kandungan pati dalam singkong yang tinggi sekitar 25-30 persen sangat cocok untuk pembuatan energi alternatif.

Dengan demikian, singkong adalah jenis umbi-umbian daerah tropis yang berpotensi menjadi sumber energi paling murah sedunia, sebagai bahan baku utama pembuatan bioetanol. Penggunaan bioetanol berbahan singkong sebagai bahan bakar akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional dan lingkungan. Sebab subsidi BBM akan berkurang secara signifikan sehingga bisa dialokasikan ke sektor lain. Lebih lanjut, penggunaan bioetanol bisa mereduksi polusi udara, terutama di kota-kota besar.