Tanpa Ford di F1, Anda Tidak Akan Kenal Michael Schumacher
Ford memastikan akan masuk ke balapan F1 tahun 2026 nanti. Mereka akan bergandengan dengan Red Bull Racing sebagai ‘technical partner’. Artinya, Ford akan menyediakan mesin. Kembalinya pabrikan Amerika Serikat itu sebetulnya cukup ironis.
Kenapa? Karena dulu Red Bull Racing adalah punya Ford. Dan bukan anak baru juga di balapan pemuncak ini. 174 kemenangan sudah dikantongi. Bahkan tanpa merek ini, Anda tidak akan kenal siapa Michael Schumacher.
DFV Engine
Mesin dengan kode DFV menandai masuknya Ford ke balapan F1 pada tahun 1967 di sirkuit Zandvoort, Belanda. DFV adalah hasil kerjasama Ford dengan tuner Cosworth. Terpasang di mobil F1 Lotus 49, langsung memberikan pole position untuk Graham Hill. Saat balapan, Ford Lotus 49 yang dikendarai memberikan kemenangan pertama untuk Ford.
Tahun itu, mesin DFV sukses membuat Lotus bertengger di posisi kedua klasemen akhir konstruktor. Jim Clark menempati posisi ketiga di klasemen pembalap.
1968 Ford akhirnya mencabut hak eksklusif untuk mesin DFV. Mesin ini akhirnya tidak hanya digunakan oleh Lotus, tapi juga McLaren dan Matra. Dari 12 balapan, mesin Ford di F1 masa itu menang 11 kali. Penggunanya meraih posisi satu sampai tiga di klasemen akhir.
Seiring berjalannya waktu, DFV dianggap penggerak yang bisa diandalkan dan tidak terlalu mahal. Maka makin banyak tim yang menggunakan mesin ini seperti Brabham, Williams dan Surtees.
Ford Cosworth DFV terus digunakan hingga 1983. Mesin ini mempersembahkan 176 kemenangan untuk yang menggunakan. Inilah salah satu mesin mobil F1 yang paling sukses dalam sejarah.
Era Kurang Lancar
Setelah 1983, balapan F1 memasuki babak baru dimana mesin turbo jadi andalan. Ini adalah bagian pertama dari kiprah mesin turbo di lomba ini. 1984 mereka menyediakan mesin untuk Tyrell dan jadi satu-satunya mesin non-turbo di arena. Hasilnya, Tyrell diasapi terus.
Ford membuat mesin V6 turbo bersama tim Haas Lola. Kode mesinnya GBA 1.5 Turbo V6. Untuk diingat, Haas yang ini tidak ada hubungannya dengan Haas F1 tim yang ada sekarang. Tapi pengembangan dan produksinya berjalan lambat. Baru tahun 1986 baru bisa digunakan. Sialnya, mesin tidak punya performa yang mumpuni. Masa itu mesin Honda di Williams dan Porsche (menggunakan nama TAG) di McLaren yang paling dominan.
1987 agak mendingan. Bersama Tyrell dan tim baru, Benetton F1 sebagai pengguna mesin baru DFZ 3.5 berkonfigurasi V8 non-turbo. Mesin ini mempersembahkan posisi lima dan enam untuk penggunanya di klasemen akhir. Meski tanpa raihan podium juara.
Penghantar Sang Legenda
Setelah 1987, segalanya seperti bergulir lancar. Ford terus menyuplai mesin untuk Benetton. 1989 Benetton dengan pembalap Alessandro Nannini juara di balapan F1 Jepang. Tahun itu, Benetton finish urutan keempat. Sementara Tyrell kelima. Lumayan.
Tahun berikutnya, Benetton Ford lebih bersinar. Nelson Piquet juara dua kali dan membuat pembalap Brazil itu menempati posisi ketiga di klasemen akhir. Sementara timnya menduduki tempat ketiga klasemen konstruktor. Setelah itu, Benetton Ford seperti jadi pelanggan juara tiga selama musim 92-93.
1994 agak lain. Delapan dari 16 balapan dimenangkan oleh pembalap muda bernama Michael Schumacher dari tim Benetton Ford. Tahun itu, ia jadi juara dunia untuk pertama kalinya. Namun timnya hanya bisa bersandar di posisi kedua setelah dikalahkan Williams Renault.
Langkah Berbeda Ford
Tahun berikutnya Benetton ganti mesin menggunakan Renault. Ford jadi rekanan Stewart Grand Prix dan sebuah tim baru yang namanya Red Bull Sauber F1 Team. Tim yang dimiliki oleh Jackie Stewart, juara dunia F1 tiga kali. Tiga musim dilalui tanpa ada hasil yang signifikan. Baru 1999, Stewart bisa berbicara. Itupun hanya finish keempat di klasemen, setelah Johny Herbert menang di European Grand Prix.
Setahun kemudian, Stewart diambil alih oleh Ford dan menjadi tim pabrikan. Mereka menggunakan nama Jaguar F1 team, karena Jaguar saat itu dikendalikan oleh mereka. Sayang, tidak bisa berbicara banyak. Jarang ada hasil yang signifikan.
Yang lumayan ada ‘suaranya’ malah tim konsumen mereka, Jordan Ford dengan pembalap Giancarlo Fisichella. Mereka menang di balapan Brazil 2003. Tahun itu, Jaguar finish ketujuh, Jordan Ford kesembilan. Inilah kemenangan terakhir untuk mesin Ford.
2004 jadi musim terakhir Ford di F1. Setahun kemudian tim ini dijual ke Red Bull yang tahun itu sebetulnya masih menggunakan mobil bikinan Ford/Jaguar. Pembalapnya Mark Webber dan Christian Klein. Lagi-lagi, hasilnya tidak signifikan karena finish ketujuh di klasemen konstruktor.
Nah, entah kenapa, kami merasa Ford dan Red Bull akan bisa jalan bersama menuju juara. Keduanya punya pengalaman yang pahit dan manis. Motivasi Red Bull sangat kuat untuk tetap bisa berada di puncak. Ford punya pengalaman membuat mesin F1 yang hebat, Red Bull dalam asuhan Christian Horner, tahu betul bagaimana caranya untuk menang.
Kita lihat saja. Regulasi baru F1 tahun 2026 merupakan sebuah revolusi regulasi untuk memudahkan para kontestan. Mesin yang lebih mudah dibuat dan ramah lingkungan, serta pembatasan biaya pengembangan setiap tim, akan memunculkan sesuatu yang pastinya berbeda.