Pertamina dan Toyota Uji Coba Bioethanol E100 Berbahan Sorgum

Bioethanol mulai digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil. Yang saat ini telah digunakan adalah bioethanol berbahan dasar tanaman Jagung dan Tebu. Keduanya merupakan biomassa yang mengandung karbohidrat.

Namun ternyata tanaman Sorgum juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan BBM alternatif. Sebagai ujicoba, Pertamina memproduksi bioethanol yang dihasilkan dari biomassa batang tanaman Sorgum. Proses produksi bahan bakar nabati ini dilakukan di fasilitas Laboratorium Technology Innovation milik Pertamina.

Bahan bakar bioethanol 100 persen (E100) yang diproduksi dari tanaman Sorgum tersebut diuji coba pada Toyota Fortuner Flexy Fuel Vehicle (FFV). SUV ini dirancang khusus sebagai kendaraan uji coba penggunaan bahan bakar bioethanol.

Sesi test drive tersebut berlangsung di GIIAS 2024 pada Rabu, 24 Juli 2024. Dalam pengujian, Pertamina menyiapkan sekira 150 liter E100 sorgum.

“Bahan baku sorgum diperoleh melalui kerjasama dengan sejumlah universitas yang sudah melakukan uji penanaman di beberapa lahan. Nira yang dihasilkan dari batang Sorgum tersebut difermentasi lalu dimurnikan sehingga menjadi bioethanol,” papar Oki Muraza, Senior Vice President Technology Innovation PT Pertamina (Persero).

Toyota Fortuner Flexy Fuel Vehicle (FFV) dikatakan menunjukkan peningkatan performa. Proses pembakaran pun lebih sempurna serta emisi gas buang yang dihasilkan jauh lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil. Meski tidak disebutkan besarannya.

Dari hasil uji coba tersebut, Pertamina merasa optimis dan berencana meningkatkan produksi E100 Sorgum. Dari sebatas uji coba laboratorium ke skala produksi massal yang lebih besar. Nilai keekonomiannya pun akan dikaji lebih lanjut.

Pertamina juga mengatakan akan menjalin kemitraan dengan sejumlah pihak. Guna menjamin ketersediaan suplai Sorgum dan bahan biomassa nabati lainnya sebagai bahan baku dasar bioethanol.

Buka Lahan Kerja

Bioethanol berbahan dasar Sorgum tak hanya menjadi sumber daya energi baru dan terbarukan untuk Indonesia. Inovasi baru bahan bakar ini diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan baru. Selain itu, usaha kecil menengah yang bergerak di sektor perkebunan Sorgum hingga pengolahan bioethanol pun dapat diberdayakan. Pertamina akan menyiapkan proses produksi E100 Sorgum ini dari hulu hingga hilir.

Toyota Fortuner Flexy Fuel diisi Bioethanol berbahan dasar sorgum.

Tentunya implementasi penggunaan bahan bakar E100 dilakukan secara bertahap. Sebagai langkah awal, implementasi bahan bakar bioethanol di Indonesia dimulai dari Pertamax Green 95 yang mengandung bioethanol berkadar 5 persen (E5).

Solar B35_a

Pertamina Jelaskan Sumber Pengganti BBM, Ternyata Bebas Impor

PT Pertamina (Persero) menjelaskan bahwa jenis Bahan Bakar Nabati (BBN) dapat menjadi salah satu langkah untuk mengganti peran Bahan Bakar Minyak (BBM). Perlu dicatat, hingga saat ini sebagiam dari kebutuhan Indonesia terhadap BBM masih diimpor.

Hal itu seperti yang diungkapkan oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. Upaya mengurangi impor BBM, bisa dilakukan dengan meningkatkan ketahanan, keterjangkauan, aksesibilitas, hingga keberlanjutan energi. Salah satu cara yang didorong oleh perseroan, bisa melalui pengembangan program bioenergi seperti biodiesel, biogasoline, dan bioavtur.

Ada potensi keberlanjutan di Tanah Air

“Masih banyak potensi keberlanjutan di Indonesia, kami dapat meningkatkan program bioenergi, biodiesel, biogasoline, bahan bakar penerbangan berkelanjutan, termasuk carbon offsetting seperti natural base solution dan Carbon Capture Utilization Storage,” kata Nicke, dalam acara Indonesian Petroleum Association (IPA) Convex (14/5/2024).

Saat ini Pertamina mendorong penggunaan bahan bakar berbasis nabati untuk jenis bahan bakar diesel, melalui pencampuran antara BBM dengan bahan bakar basis sawit sebesar 35 persen (B35). Pencampuran olahan sawit dengan BBM tersebut akan terus dikembangkan hingga sebesar 60 persen pada BBM (B60).

“Salah satu program prioritas Pertamina adalah biofuel. Saat ini kami mulai dengan B35 dan kami akan menambahkan pencampuran hingga B60. Dan dari B25 saja, sebenarnya kita sudah mengurangi emisi karbon sekitar 32,7 juta ton CO2 per tahun,” imbuhnya.

Pakai basis tetes tebu

Untuk jenis biogasoline, Pertamina saat tengah mengembangkan campuran bioetanol atau bahan bakar basis tetes tebu (molase) dengan BBM. Saat ini, perusahaan telah menjual secara komersial BBM dengan campuran bioetanol sebesar 5 persen (E5), pada Pertamax Green 95.

Nantinya, bioetanol akan mencapai E40 atau pencampuran hingga 40 persen pada BBM. “Bioetanol, sekarang dimulai dari bahan bakar non subsidi dengan nama E5 dan E7, yaitu Pertamax Green 92 dan 94. Kami akan tambahkan blending-nya hingga E40 untuk semua bahan bakar,” lanjut Nicke.

Pertamina kini sudah mulai memproduksi bahan bakar penerbangan melalui SAF (Sustainable Aviation Fuel), dengan mencampurkan bioavtur basis sawit sebesar 2,4 persen.

“Hal ini juga mematuhi kebijakan energi nasional dan sudah mulai memproduksi SAF dengan 2,4 persen pencampuran CPO pada bensin serta avtur kami,” tutupnya.

BBM Pertalite Mau Diganti Pertamax Green 92, Sudah Siap?

Polemik antara emisi gas buang dengan kualitas bahan bakar seolah tidak pernah usai dibahas. Terlebih jika dikaitkan dengan dengan kondisi udara di kawasan Jakarta yang semakin memburuk, akibat polusi dari gas buang hasil pembakaran. Dalam hal ini emisi gas buang kendaraan pun terkena sorotan tajam dari banyak pihak. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun memberikan pernyataan terkait spesifikasi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang boleh dikonsumsi kendaraan bermotor.

“Kendaraan yang diproduksi sejak Oktober 2018 tidak boleh menggunakan bensin dengan nilai oktan (Research Octane Number/RON) di bawah 91,” kata Sigit Reliantoro, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O. Sehingga kendaraan yang diproduksi sejak Oktober 2018 seharusnya tidak diperbolehkan mengisi BBM jenis Pertalite (RON 90).

Pertalite mau digantikan Pertamax Green 92

PT Pertamina (Persero) telah menetapkan standar dan mutu BBM yang ramah lingkungan, dengan merilis BBM RON 95 dicampur bahan nabati bioetanol 5 persen atau E5. Langkah selanjutnya ialah mengganti Pertalite menjadi Pertamax Green 92 pada 2024 mendatang.

Etanol yang digunakan Pertamax Green 95 tersebut merupakan hasil molases tebu dan menjadi bahan bakar nabati terbarukan. Sedangkan Pertamax Green 92 merupakan produk pengganti Pertalite yang dibuat dengan campuran 7 persen etanol.

Pertamax Green 92 ini dinilai memiliki kadar oktan yang memenuhi syarat ramah lingkungan. Itu berarti, produk ini bisa menekan emisi karbon dan menekan jumlah impor gasoline (bensin) dari luar negeri. Dengan begitu, produk ini diproyeksikan dapat menjadi solusi pemakaian bahan bakar yang ramah lingkungan. Pertamina rencananya merilis Pertamax Green 92 pada 2024, sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dengan nilai oktan bensin minimal 91.

Kandungan nabati bioetanol bisa tekan emisi gas buang

Saat ini, Pertamina tengah melakukan kajian untuk meningkatkan kadar oktan bensin Pertalite (RON 90) menjadi RON 92 atau setara Pertamax. Dengan mencampur bensin Pertalite dengan etanol 7 persen (E7), sehingga dapat menjadi Pertamax Green 92. Diharapkan kandungan nabati di dalamnya dapat membuat produk bahan bakar ini menjadi lebih ramah lingkungan.

Tantangan berikutnya ialah ketersediaan etanol di dalam negeri. Hal ini harus turut diperhatikan, sebab produksi etanol di dalam negeri saat ini masih cukup terbatas. Sebagai catatan, saat ini baru ada satu perusahaan penghasil bioetanol di Indonesia, dengan total produksi sebesar 160 ribu kiloliter per tahun.

Namun dari jumlah tersebut, sekitar 115 ribu kiloliter dikonsumsi sendiri dan sisanya 45 ribu kiloliter baru dapat digunakan untuk produksi etanol. Sedangkan untuk penggunaan sebagai campuran bahan bakar, tentu diperlukan jumlah yang jauh lebih banyak. Jadi menurut Anda, siapkah negara ini menghapus Pertalite?

Gaikindo International Automotive Conference Angkat Tema Net Zero Emission

Bertepatan dengan Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2023. Seminar berskala internasional Gaikindo International Automotive Conference (GIAC) ke-17 kembali digelar pada hari Selasa (15/8). Mengusung tema Towards Net Zero Emission Now, berbagai solusi didiskusikan dengan pemanfaatan energi baru menjadi sorotan. 

”Sejalan dengan tema GIIAS, Towards Net Zero Emission Now dipilih sebagai tema pada penyelenggaraan konferensi kali ini, dengan menghadirkan pembicara internasional ternama dari industri otomotif,” ujar Rizwan Alamsjah, Ketua III sekaligus Ketua Penyelenggara Pameran Gaikindo.

Ahok Puji Industri Otomotif Indonesia

Seminar GIAC ini turut dihadiri oleh Komisaris Utama PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok, sebagai keynote speaker. Dalam sambutannya Ahok memuji industri otomotif terutama pada pencapaian ekspornya selama tahun 2022. Tercatat Indonesia mengekspor 500 ribu unit kendaraan dari total 1,2 juta yang terjual di tahun itu. 

Impor mobil Indonesia juga tidak banyak, hanya sekitar 80 ribu unit. Terakhir Ahok mengajak para pelaku industri otomotif untuk berkontribusi pada pembangunan negara. ”Pada kesempatan hari ini, mari kita bersama-sama industri otomotif melakukan pekerjaan kita untuk dapat membuat negara ini menjadi lebih besar,” serunya. 

Akankah Energi Baru Jadi Solusi Menuju Net Zero Emission?

Sesuai dengan tema tahun ini, salah satu solusi untuk mengejar net zero emission adalah penggunaan energi terbaru. Salah satu energi tersebut adalah Bioetanol yang cukup sukses diaplikasikan di Brazil. Informasi ini dipaparkan langsung oleh Bruno Breitenbach, Agricultural Attache Embassy of Brazil. Namun teknologi diakui menghadapi tantangan besar di Indonesia. 

Kemudian dari sisi industri pun ikut menyuarakan opininya. Direktur Production Logistic Control & Technical Directorate, Government Affairs PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Widjanarko menyebut bahwa Toyota sudah menyiapkan berbagai solusi mengenai program emisi rendah. 

”Bukan hanya produksi ragam kendaraan dengan berbagai platform, namun juga pemanfaatan energi yang minim menggunakan energi dari pembangkit. Melainkan penggunaan pola aliran yang natural seperti gaya gravitasi, sehingga bisa menghemat penggunaan energi yang besar di pabrik kami,” ujarnya.

GIIAS 2023 Dipenuhi Mobil Listrik 

Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen mengurangi emisi karbon. Namun Rizwan mengakui bahwa perlu kerjasama konkrit antara pemangku kepentingan, kebijakan pemerintah, dukungan prinsipal, ketersediaan infrastruktur dan energi. Salah satu hal yang menarik di pameran otomotif GIIAS 2023 adalah kendaraan ramah lingkungan yang didominasi kendaraan listrik, pilihannya lebih banyak. Sehingga pengunjung diharapkan tidak ketinggalan keseruan produk terbaru mobil-mobil ramah lingkungan dan teknologinya di GIIAS 2023.

Ifan Ramadhana

Bioetanol Bisa Pakai Bahan Dasar Singkong

Indonesia merupakan negeri yang memiliki sumber daya alam melimpah. Salah satu sumber daya alam tersebut ialah minyak bumi, yang selanjutnya dapat diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM), di antaranya termasuk bensin. Namun, dengan harga minyak bumi yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, tentu terus mempengaruhi harga bahan bakar minyak, tak terkecuali di Indonesia. Sejumlah penelitian pun dilakukan untuk mencari bahan bakar alternatif, di antaranya ialah bioetanol.

Etanol mampu menggantikan timbal

Etanol sendiri merupakan bahan bakar beroktan tinggi dan dapat menggantikan timbal sebagai peningkat nilai oktan dalam bensin. Dengan pencampuran etanol dengan bensin, maka dapat mengoksigenasi campuran bahan bakar, sehingga dapat terbakar lebih sempurna dan mengurangi emisi gas buang. Sebab etanol memiliki fisik berupa cairan bening tak berwarna dan mampu terurai secara biologis. Etanol yang terbakar akan menghasilkan karbondioksida (CO2) serta air.

Singkong jadi bahan bakar

Etanol dapat dibuat dari material alami atau menggunakan bahan dasar tumbuh-tumbuhan, yang dalam pembuatannya memanfaatkan mikroorganisme melalui proses fermentasi. Hasilnya ialah bioetanol. Keunggulan bioetanol adalah meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi zat yang dihasilkan seperti Hidrokarbon dan Karbon Monoksida (CO). Salah satu bahan baku yang dapat digunakan untuk membuat bioetanol adalah singkong. Ya, singkong…

Bioetanol dapat digunakan dalam bentuk murni atau sebagai campuran untuk bahan bakar bensin maupun hidrogen. Interaksi bioetanol dengan hidrogen bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi sel bahan bakar ataupun dalam mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) konvensional.

Singkong yang juga disebut sebagai ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman yang sangat populer di negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Singkong sendiri memiliki peran penting dalam aspek ekonomi dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain. Selain itu, kandungan pati dalam singkong yang tinggi sekitar 25-30 persen sangat cocok untuk pembuatan energi alternatif.

Dengan demikian, singkong adalah jenis umbi-umbian daerah tropis yang berpotensi menjadi sumber energi paling murah sedunia, sebagai bahan baku utama pembuatan bioetanol. Penggunaan bioetanol berbahan singkong sebagai bahan bakar akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional dan lingkungan. Sebab subsidi BBM akan berkurang secara signifikan sehingga bisa dialokasikan ke sektor lain. Lebih lanjut, penggunaan bioetanol bisa mereduksi polusi udara, terutama di kota-kota besar.