Komuter Dalam Kota, Sportsbike Atau Skuter 250 cc?

Terdengar seperti pertanyaan yang jelas jawabannya. Tapi pasar sepeda motor di Indonesia kelas seperempat liter kian meriah. Dominasi sportsbike di pasar R2 kelas 250 cc selama 1 dekade mulai meluntur dengan hadirnya skuter 250 cc sejak 5 tahun terakhir. Pamor skuter 250 cc pun kian menguat pasca pandemi COVID-19 yakni sekira setahun terakhir.

Meskipun kapasitas mesinnya sama, namun keduanya adalah spesies yang sangat berbeda. Baik skuter maupun sportsbike 250 cc memiliki penggemar masing-masing, yang cukup fanatik.  Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki keduanya.

Pilih Yang Murah Atau Yang Mahal?

Di tataran sportsbike yang saat ini beredar di Indonesia, tersedia beragam pilihan baik merk maupun model. Mulai dari brand besar penguasa pasar R2 Tanah Air hingga brand impor dengan populasi yang dapat dihitung jumlahnya.

Dari brand asal Jepang, Kawasaki memiliki beragam pilihan model yang ditawarkan. Mulai dari Ninja 250Fi yang dijual di rentang Rp 66,5 jutaan hingga Rp 78,9 Jutaan. Naik kasta ke Ninja ZX-25R versi teranyar yang banderolnya Rp105 jutaan hingga Rp 129,9 jutaan. Pun demikian, dengan harganya yang terjangkau di kisaran Rp36 jutaan model Ninja 250 SL 2020 masih menjadi primadona.

Suzuki mencoba peruntungan di segmen sportbike 250 cc dengan Gixxer SF 250 yang harganya cukup terjangkau di kisaran Rp51 jutaan.

Honda kemudian mengepakkan sayapnya dengan CBR250RR. Yang label harganya di rentang Rp 62,85 juta hingga Rp 79,8 jutaan.

Yamaha pun semakin memperkuat dentingan garpu talanya dengan YZF25R. Banderolnya berkisar antara Rp 62,7 jutaan hingga Rp 70 jutaan. Namun yang satu, sepertinya sudah waktunya dibenahi. Terlalu lama tidak berubah.

Liga Skuter

Untuk liga skuter 250 cc, pilihannya pun cukup beragam dengan rentang harga yang sangat bervariasi pula.

Jika anda melirik brand asal Korea Selatan, terdapat Kymco Downtown 250i yang dipasarkan seharga Rp 68 jutaan yang bersaing dengan Sym GTS 250i asal Taiwan dengan label harga Rp 69,8 jutaan.

Yamaha XMax 250 yang mulai merangsek pasar skuter besar dibanderol sekitar Rp 63 jutaan. Honda Forza 250 menempel ketat meskipun label harganya Rp 83 jutaan terbilang jauh lebih mahal.

Benelli Zafferano mungkin jadi pilihan paling terjangkau di tataran skuter 250 cc dengan harga Rp47 jutaan.

Riding Santai Atau Ala Superman?

Jika anda sudah mampu untuk membeli sportsbike maupun skuter 250 cc yang label harganya sudah bukan bilangan belasan juta lagi, jangan pusing memikirkan konsumsi BBM.

Justru yang harus Anda perhatikan adalah penggunaannya. Hanya sekadar untuk senang-senang santai sunmori atau sebagai kendaraan harian dalam kota maupun antar kota jarak dekat?

Pasalnya, penggunaan skuter atau sportsbike yang Anda miliki akan berkaitan erat dengan posisi berkendara.

Untuk sekadar hobi atau sunmori, artinya hanya akan mengendarai skuter atau sportsbike anda sesekali, setidaknya 2-3 kali dalam sepekan. Posisi berkendara tentu tak jadi masalah. Apakah merunduk ala Superman dengan sportsbike selama 1-2 jam atau riding santai dengan kaki selonjor pada dek skuter 250 cc.

Beda lagi jika penggunaannya sebagai kendaraan harian. Posisi berkendara akan berpengaruh pada daya tahan fisik pengendara. Khususnya pada area lengan, bahu dan pinggang serta bokong.

Untuk penggunaan harian dalam kota atau antar kota jarak dekat, Anda kerap harus ‘survive’ di tengah kemacetan lalu lintas selama berjam-jam. Nah, skuter memiliki posisi duduk dan berkendara paling nyaman.

Meskipun body yang bongsor tetap agak menyulitkan untuk bermanuver saat menghadapi situasi lalu lintas padat yang stop and go. Namun dengan trasmisi matic, setidaknya tangan Anda tak keram maupun kebas akibat berjam-jam meremas tuas kopling dan rem dibanding sepeda motor bertransmisi manual.

Skuter memang makhluk yang khusus diciptakan untuk pengendaraan dalam kota. Posisi duduknya membuat tak akan lekas lelah dan pegal-pegal serta encok pinggang.

Beda nasib di kemacetan

Sportsbike? Seberapa tahan fisik Anda merunduk selama berjam-jam di tengah kemacetan?

Posisi berkendara pada sportsbike cenderung merunduk atau membungkuk. Ditambah dengan jemari anda meremas tuas kopling dan rem selama berjam-jam. Mungkin jika bisa, sportsbike anda akan otomatis belok kiri membawa Anda ke tukang urut.

Pinggang adalah titik pertama yang akan mengalami kelelahan. Lalu bokong dan seputar paha. Demikian pula dengan bahu dan lengan para pengguna sportsbike berfairing.

Body sportsbike cenderung lebih ramping dari skuter. Namun dengan sudut kemudi yang sempit dan terbatas, akan sedikit menyulitkan saat harus bermanuver di tengah kemacetan lalu lintas. Kecuali Anda sudah terbiasa dengan motor seperti ini, maka pilihannya ada di Anda. Kami pilih skuter saja.

Bimota V-Due, Penutup Era Sportbike 2-Tak Yang Layak Dikoleksi

Dari sebuah workshop di kota Rimini, Italia yang berada di pesisir laut Adriatik, lahir sebuah brand sepeda motor bernama Bimota pada tahun 1973 silam. Berawal dari spesialis konversi frame spek balap Grand Prix untuk Honda 750, nama Bimota pun makin mendunia dan tersohor di kancah balap motor.

Bimoti hadir dari tangan tiga serangkai pendiri, yakni Valerio Bianchi, Giuseppe Morri dan Massimo Tamburini. Nama mereka pun tak asing di kancah balap motor Grand Prix.

Kesempatan untuk menggarap proyek prestisius muncul pada awal tahun 1990. Saat itu, Bimota tengah mengembangkan sepeda motor bermesin 2-tak 500 cc berkonfigurasi V-twin.

Mesin rancangan Bimota ini diberi nama V-Due, yang dalam bahasa Italia memiliki arti V-twin. Awalnya mesin V-Due akan digunakan Bimota untuk berlaga di ajang Grand Prix 500 cc, kelas para raja. Akan tetapi karena membutuhkan biaya yang sangat besar, Bimota pun beralih untuk menggunakannya pada motor jalan raya.

Motor 2-Tak Jalan Raya Berteknologi Balap

Desain mesin V-Due merupakan hasil rancangan Pier Luigi Marconi. Dengan bore x stroke 72 x 61.25 mm, mesin tersebut menghasilkan volume 499 cc. Sudut kemiringan 90 derajat, kompresi 12:1 dan sistem pendingin radiator adalah spek yang sebetulnya umum digunakan motor balap.

Mesin 2-silinder berkonfigurasi V ini digadang mampu menghasilkan tenaga maksimum 110 HP pada 9.000 rpm, dengan torsi maksimum 90 Nm di 8.000 rpm. Transmisi manual 6-speed dengan gigi girbox model kaset dan kopling kering multi-plat pun diadopsi dari teknologi motor balap GP500. Performanya sangat beringas membawa V-Due menembus kecepatan 266 km/jam

Saat itu, motor 2-tak masih menjadi raja jalanan di Kawasan Eropa. Namun regulasi emisi yang sangat ketat di Amerika Serikat mulai mengarah pada ‘pemusnahan’ era motor 2-tak yang kerap dijuluki lokomotif beroda dua. Datanglah teknologi direct fuel injection yang tengah dikembangkan oleh perusahaan asal Australia, Orbital yang kemudian di ujicoba pada Bimota V-Due.

Throttle body dengan empat lubang intake dilengkapi empat buah injektor. Masing-masing silinder dibekali dua katup kupu-kupu dan katup buang berpengaturan elektronik. Seluruh teknologi modern tersebut diadopsi dari motor balap.

Konstruksi Frame Dan Suspensi Ala GP

Untuk menghasilkan handling sempurna, prototype V-Due mengadopsi frame dan suspensi motor balap GP. Teknologi rancang bangun yang bukan lagi hal baru bagi mereka. Frame alloy khas Bimota dipadukan dengan pipa oval berbahan Peraluman 440. Suspensi depan dilengkapi dengan garpu teleskopik adjustable 46 mm lansiran Piaoli, dengan pipa selubung serat karbon.

Sementara swing arm cast alloy di bagian belakang diperkuat dengan arm penyangga berbahan alloy yang dilas. Swing arm dipadukan dengan adjustable monoshock Öhlins yang dipasang horizontal.

Sistem remnya pun sangat mewah. Mengandalkan Brembo Goldlines, yang umum digunakan pada motor balap Grand Prix. Sepasang cakram rem 320 mm dicengkeram kaliper rem 4-piston terpasang pada roda depan. Roda belakang dilengkapi sebuah cakram 230 mm dengan kaliper 2-piston.

Material Ringan

Tak hanya sepakbor, tangki dan panel body, fairing Bimota V-Due hasil rancangan Sergio Robbiano menggunakan bahan serat karbon yang saat itu hanya digunakan pada motor GP500. Desain body dan fairing Bimota V-Due pun menjadi inspirasi desain Ducati 916 dan MV Agusta F4 yang merupakan rancangan Tamburini.

Velg aluminium alloy Antera 17-inci yang digunakan Bimota V-Due dibalut ban 120/70-17 (depan) dan 180/55- 17 (belakang). Velg Antera pun umum digunakan pada motor balap seperti halnya velg Marchesini. Dengan livery ‘Tricolore’ Merah-Putih-Hijau khas bendera Italia, total bobot V-Due seringan motor balap GP500…hanya 160 kg! 

Bimota pun memamerkan V-Due perdana pada event Cologne Show di Jerman pada tahun 1996. Bahkan tiga unit prototype Bimota V-Due, diuji touring jarak jauh sebagai ajang unjuk gigi. Ketiganya menempuh jarak 3.000 km dari Sisilia menuju Isle of Man bertepatan dengan perayaan 90 tahun kejuaraan balap motor Tourist Trophy.

Teknologi Fuel Injection Yang Belum Sempurna Atau Salah Era?

Sebenarnya tak ada yang salah dengan proyek ambisius Bimota V-Due yang menjadi pelopor sportbike 2-tak jalan raya berteknologi electronic direct fuel injection. Hanya saja teknologi tersebut, saat itu masih terbilang prematur dan belum sempurna. Bahkan motor balap GP 500 cc Honda NSR500 besutan Mick Doohan di tahun 1993, teknologi fuel injectionnya pun mengalami banyak masalah.

Dari 500 unit yang direncanakan, sejak tahun 1997 hingga 2000 Bimota hanya berhasil memproduksi sebanyak 388 unit V-Due. Akibat adanya masalah pada mesin dan sistem injeksi bahan bakar, sebagian besar unit pun diretur oleh para konsumen.

Walhasil, Bimota mengalami kerugian sebesar $10.200.000 plus biaya pengembangan dan operasional produksi. Bimota pun dinyatakan pailit tahun 2001. Meski tengah mengalami masa sulit, Piero Caronni tetap bertanggung jawab memproduksi V-Due. Sebanyak 141 unit V-Due Evoluzione dan Evoluzione Corsa diproduksi pada rentang tahun 2001 – 2003.

Sistem injeksi bahan bakar elektronik yang bermasalah pun diganti. Versi Evoluzione dengan sepasang karburator Dell’Orto 39 mm memiliki output 122 HP. Sedangkan versi Evoluzione Corsa yang dilengkapi karburator racing Dell’Orto VHSB 39 mm Trofeo Corsa output tenaganya 135 HP.

Edizione Finale, Berakhirnya Era 2-Tak

Sebanyak 30 unit versi Racing E.F. (Edizione Finale atau Final Edition) diluncurkan pada tahun 2005. Edisi pamungkas dari V-Due ini dilengkapi mesin spek balap 2000 Trofeo Corsa dan karbu Dell’Orto VHSB 39 mm Trofeo Corsa yang memiliki output tenaga di rentang 122-130 HP. Knalpot balap lansiran Jolly Moto, velg aluminium alloy Antera berkelir hitam dan rem cakram berukuran besar dari Brembo dibekalkan pada V-Due.

Namun dengan statusnya yang kini ber-spek balap, maka V-Due rakitan pabrik Bimota di Meda, Milan ini pun diharamkan berkeliaran di jalan raya. Bimota V-Due Racing E.F menjadi generasi terakhir sportbike 2-tak Italia.

Pada saat diluncurkan pertamakali, V-Due dibanderol seharga $30.000. Harga yang amat sangat mahal pada saat itu bila dibandingkan dengan produk sejenis dari brand yang jauh lebih mentereng seperti Ducati atau MV Agusta.

Harga pasarannya saat ini? Untuk versi jalan raya dengan kondisi ala kadarnya masih beredar di kisaran $23.000 – $35.000 atau nilai kursnya kurang lebih setara Rp 347 juta – Rp 528 jutaan. Namun untuk versi spek balap 2000 Trofeo Corsa dan Racing Edizione Finale, harga pasaran termurahnya saat ini telah menembus €69.000-an atau sekitar Rp 1,12 miliar! Ya…yang termurah.

Populasinya yang sangat langka membuat Bimota V-Due menjadi salah satu incaran kolektor hingga sekarang.