LExus LS

Circle F, Upaya Toyota Membungkam Amerika dan Jerman

Era 1970-an hampir bisa dibilang merupakan titik balik industri otomotif dunia. Krisis minyak dunia yang melanda, membuat pasar mobli, terutama di Amerika Serikat berubah total. Mesin besar yang menggerakkan mobil di negara itu jadi tidak laku karena boros BBM. Hasilnya, pabrikan Jepang, meraja dengan produknya yang bisa diandalkan dan irit. Menariknya, upaya berbeda ditempuh Toyota, yang mengubah peta persaingan mobil mewah dunia. 

Banjirnya produk dari negara itu di Amerika Serikat, membuat pabrikan setempat (Ford, GM, Chrysler dan lainnya) khawatir. Mereka lalu mendekati kongres dan minta tolong. Hasilnya, pemerintah AS menentukan kuota mobil impor, khususnya dari Jepang, maksimal 1,68 juta unit setiap tahun.

Demi Pasar Amerika

Toyota Circle F

Orang Jepang pun putar otak. Ada dua hal yang harus dilaksanakan. Pertama, bikin pabrik di Amerika. Solusi kedua adalah, bagaimana caranya supaya keuntungan mereka bisa maksimal. Semua seperti senada: Masuk di pasar yang lebih elit. Jangan hanya berkutat di segmen menengah ke bawah. Honda yang pertama hadir dengan merek Acura tahun 1986. Mereka yang tadinya hanya punya Civic untuk bersaing dengan Ford Pinto, jadi punya amunisi untuk melawan sedan Cadillac dengan Honda Legend. Diikuti Nissan melalui Infiniti. Mazda mencoba dengan Amati. Langkah ini tentu tidak diduga oleh pabrikan setempat yang minta pemerintahnya membuat aturan impor.

Toyota? Mereka seperti biasa, lihat dan perhatikan dulu. Bukan tidak punya barang untuk bersaing di segmen mewah. Tapi mereka perlu sesuatu yang lain. Era 80-an, Toyota punya Century yang sudah beredar sejak 1967, tapi hanya untuk pasar domestik. Crown dirasa kurang bisa bersaing. Head of Operaiion Toyota di Amerika Serikat, Yukiyasu Togo menantang manajemen di pusat untuk membuat mobil yang luar biasa. Lahirlah tim untuk mengerjakan Project Circle F. F itu singkatan dari Flagship. Upaya Toyota yang hingga kini, dibilang ambisius.

Awalnya, mereka melakukan peningkatan khusus untuk Crown. Tapi setelah mencoba dua mobil mewah terbaik di dunia (saat itu), BMW 7-Series dan Mercedes-Benz S-Class, Crown tidak ada apa-apanya. Delapan proposal dan 18 bulan kemudian, manajemen Toyota akhirnya setuju untuk bikin mobil yang beda. Tahun 1985, mereka membentuk tim berisi 60 desainer, 1.400 engineer dan 2.300 teknisi yang tersebar di AS dan Jepang. Menghasilkan 450 contoh purwarupa dan menyedot dana hingga US $1 milyar (setara US $2,5 milyar sekarang)!

Permintaan Yang Bertentangan

Chief engineer yang mengepalai proyek ini, Ichiro Suzuki, menerapkan standar yang tidak biasa. Mobilnya harus kencang tapi irit BBM, supaya pajaknya tidak mahal di Amerika. Wajib punya pengendaraan yang sunyi tapi mobil harus ringan. Bentuknya aerodinamis tapi juga elegan. Bagi engineer, yang diminta oleh bosnya sangat bertentangan dengan ilmu yang mereka punya. “Bukannya harusnya dia juga paham, ya?” begitu yang ada di benak mereka soal permintaan Suzuki.

Namun tidak ada hal yang mustahil. Ditambah, Suzuki sangat tegas menjalankan prinsip tadi. Setelah membuat 930 protoype mesin, mereka memastikan satu mesin V8 dengan blok alumunium untuk menjalankan mobil. Tenaganya 241 hp, konsumsi BBM 9 km/liter. Okelah. Tugas ‘harus kencang tapi irit’ terselesaikan. Berikutnya, bagaimana mobil ini bisa senyap. V8 bukan mesin yang minim getaran dan bunyi.

Mesin LExus

Inovasi lalu lahir. Pertama, dudukan mesin model hydraulic-pneumatic. Ini barang mahal, tapi efektif meredam getaran mesin. Pernah lihat iklan Lexus LS dengan gelas champagne yang isinya tidak tumpah, padahal mobil sedang digeber? Itu ulah dudukan mesin tersebut.

Ingat, Harus Ringan!

Kemudian, upaya Toyota berikutnya adalah posisi mesin tidak lurus mengikuti body. Tapi sedikit mendongak. Tujuannya, supaya transmisi dan as kopel bisa lurus sempurna hingga ke gardan, tidak menekuk. Efeknya, selain meminimalisir kehilangan daya, getaran bisa diredam dan tidak berisik. Dua hal ini berkontribusi terhadap pengendaraan yang halus dan sunyi, tanpa perlu peredam kabin berlebihan. Ingat, peredam kabin itu berat. Ichiro Suzuki memperhatikan betul soal bobot ini. “Pokoknya, kalau ada tambahan peranti dengan bobot lebih dari 10 gram, ngomong dulu sama saya!” tegasnya.

Soal desain ini juga bikin pusing. Toyota berkiblat pada Citroen dan Audi yang mampu bikin body mobil dengan nilai hambatan angin 0,29. Dan ini jadi patokan. Masalahnya, karena ini untuk pasar AS yang doyan mobil dengan muka tegas, bagian depan harus tegak dan punya grille lebar. Ini didapat dari hasil survey mereka (konsumen mobil mewah Amerika) yang sudah beli BMW Seri-7 atau S-class. Kalau Anda perhatikan, dua merek ini punya kesan yang tegas berkat bentuk muka dan grill.

Jangan Gampang Rusak

Mobil ini juga jadi standar baru bagi Toyota dalam hal produksi. Pengelasan dengan memanfaatkan laser jadi barang baru dan menghasilkan rangka yang lebih kuat dengan menggunakan material yang lebih sedikit. Metode ini juga akhirnya jadi standar dalam dunia perakitan mobil.

Lalu soal kualitas, ditegaskan semuanya harus lebih baik dari BMW atau Mercedes yang jadi patokan. Bagian pengembangan jadi pusing sendiri karena batas toleransi yang bisa diterima ditekan semaksimal mungkin. Hampir semua komponen yang ada diuji hingga hancur, untuk melihat seberapa kekuatannya. Ini karena Toyota memperhatikan, umur sebuah komponen jadi masalah di mobil-mobil mewah.

Cara ini menguntungkan mereka sendiri. Kalau sudah tahu cara menghasilkan komponen yang berkualitas dan tahan lama, semua produk yang keluar dari pabriknya bisa memanfaatkan.

Bukan cuma komponen yang bergerak. Di interior, mereka memanggil Yamaha untuk membantu memastikan kualitas. Yamaha diminta membuat trim kayu (asli) yang kualitasnya tertinggi. Desainer kabin memastikan, pencahyaan di dashboard tidak membuat mata lelah dan semuanya mudah dimengerti. Hasilnya, biarpun tombol bertebaran di dashboard dan sekitarnya, tapi mudah dimengerti dan dijangkau.

Setelah semua menyatu, pengujian di kehidupan nyata dilangsungkan. Prototype-nya disamarkan sebagai Crown atau Cressida, dan berkeliaran di daerah ekstrim seperti Arab Saudi atau Australia. Tidak lupa, di Jerman mereka menjalankan uji kecepatan tinggi di Autobahn. Akhir 1988, Toyota merasa siap membuka tabir mobil baru ini. Detroit Auto Show 1989, publik dan kompetitor terperangah melihat sedan baru dari Toyota, tapi logonya ‘L’.

Menegaskan upaya Toyota bahwa sedan ini akan melawan BMW dan Mercedes-Benz, mereka mengadakan konferensi pers di Jerman. Sekalian mengundang jurnalis untuk mencobanya. Dan yang diundang merasa puas dengan sedan bernama Lexus LS400 ini. Pabrikan Jerman terperangah karena mobilnya memiliki kualitas yang lebih baik, tapi harga jual lebih murah di Amerika Serikat. Acura dan Infiniti tidak kalah kaget, karena LS400 tidak bisa disamakan dengan produk mereka yang lebih inferior.

Nama Jadi Masalah

Lexus di Amerika

Tim marketing Toyota menyadari, kalau mereka mau naik kelas dan menyasar kaum berduit, nama Toyota tidak bisa dipakai. Merek Toyota terlalu identik dengan mobil terjangkau untuk kaum menengah ke bawah.

Diskusi menghasilkan nama Alexis. Entah kenapa. Namun tantangan datang karena nama Alexis, menggambarkan tokoh antagonis. Siapa? Alexis Colby adalah karakter yang tidak disukai di film seri televisi ternama waktu itu, Dynasti.

Akhirnya diputuskan Lexus. Beberapa ada yang bilang, ini adalah singkatan Luxury EXport for US. Meski Toyota tidak mengiyakan. Mereka yang suka, mengakui ini sebagai merek mobil mewah. Yang skeptis akan bilang, “Ini cuma Toyota yang lebih mahal.” BMW dan Mercedes-Benz yang tadinya santai saja, jadi khawatir karena hanya dalam dua tahun, LS400 jadi mobil mewah paling laris di Amerika berkat harganya yang lebih murah dari kompetitornya, US $35.000. Satu dari tiga pengguna Cadillac, menukar mobilnya dengan LS400.

Berkat upaya Toyota yang kelewat gigih ini, Lexus ini lalu berkembang dari LS400 menjadi berbagai model lain. Tidak hanya untuk Amerika, tapi pasar global. Lexus pun mendunia sebagai merek mewah yang mentereng. Standar mereka dalam hal kualitas dan pelayanan jauh lebih tinggi ketimbang induknya, Toyota. Termasuk di Indonesia.

Mercedes-Benz Siap Mengaplikasikan Pengendaraan Otonom Level 3 Di Nevada, AS

Sebuah kabar gembira baru saja diumumkan oleh pabrikan otomotif asal Jerman, Mercedes-Benz pada event Consumer Electronics Show di Las Vegas, Amerika Serikat.

Mercedes-Benz menjadi pabrikan otomotif pertama yang diperbolehkan untuk mengaplikasikan teknologi pengendaraan otonom level 3 pada produk kendaraan mereka yang dipasarkan di Amerika Serikat, khususnya di Negara Bagian Nevada.

Hal ini tentunya membuat posisi Mercedes-Benz berada selangkah di depan brand otomotif lainnya, terutama pabrikan tuan rumah yakni Tesla yang gencar mengembangkan teknologi pengendaraan otonom.

Teknologi pengendaraan otonom Drive Pilot yang dikembangkan oleh Mercedes-Benz merupakan fitur berkendara mutakhir yang saat ini disematkan pada model S-Class dan mobil listrik EQS.

Di Amerika Serikat memang terdapat sejumlah perusahaan yang menerapkan teknologi pengendaraan otonom penuh. Akan tetapi teknologi tersebut digunakan pada robotaxi, bukan pada kendaraan pribadi.

Meskipun baru diterapkan di AS, namun Drive Pilot sebenarnya telah lebih dahulu ditawarkan kepada para konsumen Mercedes-Benz di Eropa, khususnya Jerman.

Jika menghendaki penambahan fitur Drive Pilot yang merupakan paket opsional, maka para konsumen di Jerman dikenakan biaya sebesar €5.000 atau sekitar Rp 83,35 juta untuk S-Class, dan €7.430 yang setara Rp 123,86 juta untuk EQS.

Pengendaraan Otonom Level 3 dan Drive Pilot

Anda tentu penasaran, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengendaraan otonom level 3, terutama teknologi Drive Pilot.

Berdasarkan informasi yang dijabarkan oleh organisasi standarisasi enjiniring global, SAE International, pada pengendaraan otonom level 3 kendaraan dapat mengemudi secara mandiri dalam kondisi tertentu dan terbatas.

Mungkin yang ada dalam pikiran anda dengan teknologi ini maka mobil dapat mengemudi sendiri tanpa perlu dikendalikan oleh supir. Ya, mungkin memang terkesan sederhana, namun sebenarnya cara kerjanya tidak sesederhana itu.

Lantas, seperti apa kemampuan dan cara kerja dari teknologi Drive Pilot yang ada pada sejumlah mobil Mercedes-Benz?

Sistem pengendaraan otonom Drive Pilot hanya bekerja pada kecepatan di bawah 64 km/jam. Dengan kata lain, sistem Drive Pilot idealnya diaktikan saat berkendara di tengah kemacetan atau sedang mencari tempat parkir.

Meskipun mobil melaju dan mengemudi sendiri secara mandiri saat sistem Drive Pilot diaktifkan, namun bukan berarti si pengemudi serta merta lepas setir dan tanpa mengawasi kondisi sekeliling…atau bahkan malah tertidur.

Kamera dan sejumlah sensor pun terintegrasi dengan sistem Drive Pilot untuk memantau kondisi jalan dan sekeliling kendaraan. Bila kendaraan di depan terdeteksi melakukan pengereman atau berhenti, maka sistem Drive Pilot akan melakukan pengereman secara otomatis untuk menghindari terjadinya tabrakan atau benturan.

Sebagai pengaman, sistem ini juga dilengkapi dengan alarm peringatan yang agak sedikit cerewet memberitahu kepada pengemudi secara berkala untuk mengambil alih kemudi.

Nah, jika tak ada respon dari pengemudi dalam waktu 10 detik sejak alarm berbunyi, maka sistem secara otomatis akan membuat mobil mengerem mendadak dan berhenti.

Jadi jelas, meskipun mobil dapat berkendara secara mandiri dengan adanya teknologi pengendaraan otonom, namun pengemudi tetaplah yang harus memegang kendali…bukan sebaliknya.

Setelah mendapat izin untuk pengaplikasian Drive Pilot di Negara Bagian Nevada, Mercedes-Benz akan mengajukan sertifikasi untuk wilayah lainnya, khususnya Negara Bagian California yang memiliki standar kebijakan dan peraturan sangat ketat, baik di sektor otomotif maupun lalu lintas. Bahkan peraturan di California terbilang paling ketat dibandingkan dengan negara bagian lainnya di Negeri Paman Sam.

Maybach 62

Maybach, Jatuh Bangunnya Sebuah Merek Mewah

Bukan anak baru. Umurnya sudah 100 tahun lebih, dan merasakan pahitnya kehidupan.

Setelah resmi masuk dalam jajaran porto folio Mercedes-Benz Distribution Indonesia, merek Maybach langsung berjualan dengan mengandalkan SUV Maybach GLS dan Maybach S-Class. Namun bagi sebagian, merek ini masih kurang familiar karena di Indonesia Rolls Royce, Bentley, Jaguar masih lebih sering terdengar.

Tidak salah memang. Karena Maybach sendiri baru hadir melalui jalur MBDI sejak 2018 lalu. Itupun tidak secara luas diumumkan. Produknya seperti hanya jadi selipan diantara S-Class reguler. Lalu apa itu Maybach? Ceritanya berawal lebih dari 100 tahun yang lalu. Tepatnya 1909.

Wilhelm Maybach, mantan direktur teknis Daimler mengajak anaknya, Karl Maybach untuk mendirikan perusahaan baru bernama Maybach-Motorenbau GmbH. Atau kalau diterjemahkan jadi Perusahaan pembuat mesin Maybach. Proyek awal mereka adalah membuat mesin untuk Zeppelin. Kapal udara pengangkut penumpang. Mereka juga aktif membuat gerbong kereta api.

Karena ahli bikin mesin dan gerbong kereta, Maybach lalu bergeser membuat mobil. Prototype pertama muncul tahun 1919, bernama W1. Hanya mobil biasa dengan mesin yang mereka bangun sendiri. Sekarang entah di mana prototype itu. Tapi foto-fotonya ada. Mereka menggaet rekanan asal Belanda bernama Trompenburg untuk menjual mobil ini dengan nama Spijker Tenax. Bertenaga 70 hp, mobilnya menjanjikan. Bisa diandalkan, kencang dan nyaman. Sayang sekali, Trompenburg bangkrut.

Dua tahun kemudian, setelah mengalami pasang surut karena rekanan yang kurang bisa diandalkan, Maybach membangun dan menjual sendiri mobil bernama W3, dipamerkan pertama kali di Berlin Auto Show. Mesinnya menggunakan punya W1 tadi. Mobil ini yang membukakan mata dunia otomotif (saat itu) bahwa pabrikan asal Friedrichshafen, Jerman tersebut memiliki standar tinggi.

Seperti yang ada di poster penjualannya, Maybach W3 punya banyak inovasi teknis. Yang menarik adalah tenaga maksimal 70 hp bisa didapat saat putaran rendah, 2.200 rpm. Lalu disebutkan juga, setiap roda ada remnya. Ya, ini masa-masa awal mobil berkembang. Jadi banyak yang heran kalau remnya ada empat. Tidak kalah menarik, transmisinya hanya dua speed. Karena mesin yang sangat fleksibel menghasilkan daya, jadi tidak perlu banyak gigi.

Tahun 1926, mereka keluar dengan produk ketiga, W5. Mesinnya 7,0 liter dengan konfigurasi enam silinder segaris. Tenaganya 120 hp. Kecil untuk ukuran sekarang, apalagi dengan mesin sebesar itu. Tapi pada zamannya ini sangat bertenaga. Lagi-lagi membuat kagum.

Maybach menempatkan mobil ini di segmentasi mobil super mewah. Yang disuarakan adalah interior istimewa dengan ruang kaki belakang super lega. Sesuatu yang terus dibawa hingga sekarang. Trim dan jok kulit, jendela di keempat sisi, lampu depan elektrik, punya wiper.

Seiring berjalannya waktu, Maybach terus memproduksi mobil mewah yang sekarang diincar kolektor. Kiprahnya terpotong saat perang dunia kedua pecah. Di masa kelam itu, mereka banyak memproduksi mesin untuk kendaraan tempur. Usai perang, tidak mampu bangkit. Wilhelm dan Karl lalu kembali fokus membuat mesin dengan nama perusahaan baru, MTU Friedrichshafen.

Tapi Maybach-Motorenbau GmbH tidak pernah dimatikan. Hingga akhirnya di era 1960-an perusahaan Daimler-Benz mengambil alih. Di tangan mereka, nama ini lebih dikhususkan untuk membuat mobil-mobil pesanan khusus, tapi tanpa embel-embel Maybach. Ini berlangsung cukup lama, hingga tahun 1997.

Menghidupkan Kembali Maybach

Terpicu oleh resesi global di era 90-an, Mercedes-Benz berkaca pada dua rival utama mereka, Bentley dan Rolls Royce. Kedua merek Inggris itu seperti tidak tergoyahkan karena punya konsumen yang dompetnya lebih tebal dari Tembok Besar China.

Tahun 1997, di Tokyo Motor Show muncul mobil mewah di panggung Daimler. Prototype ini mengusung nama Maybach. Dan Daimler berkomitmen untuk mewujudkan versi produksi paling lama lima tahun ke depan. Benar saja, 2002 muncul Maybach 52 dan 62. Bermesin V12 542 hp, pangsa pasarnya di atas S-Class.

Berbekal kemewahan yang membuat siapapun kagum, Maybach maju menghadang Bentley dan Rolls Royce. Sayang, usaha mereka kurang berhasil. Hanya 600 unit terjual di 2002, meski upaya marketing sudah habis-habisan. Tahun berikutnya lebih parah lagi, hanya 150 unit terjual. Anehnya lagi, saat S-Class mendapatkan peremajaan tahun 2005, Maybach tidak disentuh. Makin tidak dilirik oleh pasarnya. Tercatat, hingga 2011, hanya 3.000 unit Maybach laku. Kasihan sekali. Di saat yang sama Bentley mencetak penjualan yang memecahkan rekor. Apa yang salah?

Terlalu Lama Dipendam

Ingat, setelah diambil Daimler, Maybach seperti dipenjara. Hanya disuruh membuat mobil edisi khusus. Itu yang membuat namanya kurang bersinar di pasar mobil mewah. Tapi para petinggi Mercedes-Benz tidak menyerah. Mereka tetap perlu sesuatu untuk berkompetisi di segmen ini.

Berbagai cara dicoba untuk menghidupkan kembali. Termasuk coba menggandeng Aston Martin sebagai rekanan pengembangan. Namun gagal. Akhirnya balik lagi melirik S-Class mereka sendiri. Kali ini lebih serius.

Tahun 2014, diperkenalkan nama Mercedes-Maybach. Seperti melambangkan kalau mereka adalah satu kesatuan sekarang. Jadi setiap ada S-Class baru, dipastikan akan ada model Maybach mengikuti. Tentunya dengan kelengkapan lebih.

Semangat Daimler untuk mengembangkan Maybach bahkan sampai menyentuh ranah SUV. Maybach GLS adalah hasilnya. Menandai untuk pertama kalinya ada Maybach jangkung.