Inilah Mobil Nineties Keren Yang Bisa Melenggang Di AS

Negeri Paman Sam adalah salah satu negara yang sangat ketat soal izin impor mobil. Terlebih lagi untuk mobil high performance. Mobil ‘nineties’ yang akan diimpor harus memenuhi syarat homologasi untuk pasar Amerika Serikat alias US-spec.

Untuk bisa memboyong mobil non US-spec ke AS, usia produksinya minimal tak kurang dari 25 tahun. Itu pun dengan sejumlah persyaratan yang tidak mudah.

Memasuki tahun 2024, keran impor pun terbuka untuk mobil produksi tahun 1999. Penasaran mobil keren apa saja yang tahun ini sudah bisa melenggang bebas di AS tahun ini?

TVR Tuscan Speed Six

Dari daratan Britania Raya ada mobil nineties yang menarik, yakni Tuscan Speed Six. Sportscar 2-pintu lansiran TVR ini memiliki dua versi, Targa dan Convertible. Hanya 1.677 unit yang meluncur dari jalur produksi TVR di Blackpool, Inggris selama periode tahun 1999-2006.

Versi awal dibekali mesin 6-silinder segaris 4.0-liter. Tenaga sebesar 360 hp bergasing di 7.000 rpm. Torsi 420 Nm dirasakan mulai 5.250 rpm. Beruntung jika sudah dilengkapi paket opsional Rose Pack. Output tenaganya 380 hp. Sasis dan suspensi serta remnya diupgrade untuk trek balap. Versi bermesin 3.6-liter, outputnya beda tipis. Hanya 350 hp dengan torsi 393 Nm.

Dengan transmisi manual 5-speed, hanya butuh sekira 3,7 detik untuk mencapai angka 100 km/jam. Top speednya tembus 298 km/jam.

Harga pasarannya masih terbilang lumayan tinggi yakni kisaran £28.995 hingga £89.995. Kurang lebih sekitar Rp 573 jutaan – Rp 1,8 miliar. Jika diimpor ke AS, maka ongkos kirim, bea pajak dan surat kendaraan plus asuransi totalnya bisa lebih dari harga mobilnya. Masih sepadan dengan statusnya yang langka dan eksotis.

Mitsubishi Lancer Evo VI

Siapa yang tak kenal dengan Lancer Evolution? Mobil siap balap lansiran Mitsubishi ini sangat melegenda di ajang rally dan digandrungi para kawula muda. Namun sayangnya Lancer Evo baru resmi beredar di AS mulai tahun 2003. Jadi banyak generasi Evo sebelum itu yang tak bisa bebas diimpor ke AS.

Lancer Evo VI yang lahir di tahun 1999 adalah salah satu model yang tahun ini berusia 25 tahun. Jadi kini Evo VI sudah bisa melenggang di AS.

Sesuai ‘Gentleman Agreement’ yang berlaku di Jepang, mesin 4-silinder 2.0-liter turbo 4G63 yang dibopong Lancer Evo VI output tenaganya dibatasi ‘hanya’ 276 hp. Ehm… itu di atas brosur. Potensi yang tersimpan jauh lebih besar dari itu.

Ada dua varian untuk versi ‘standard’ lansiran tahun ’99 yakni RS (Rally Sport) dan GSR. Jika ingin variant yang lebih geget dari itu, maka harus menunggu setidaknya 1 tahun lagi. Karena model edisi terbatas yang menjadi incaran seperti Tommi Makinnen Edition (Evo 6.5) atau yang paling langka yakni Evo VI RSX 2000 baru diproduksi mulai tahun 2000.

Nissan Skyline GT-R (R34)

Angkatan nineties atau sembilan puluhan, kurang lengkap tanpa Nissan Skyline GT-R (R34). Generasi Skyline berjuluk “Godzilla” ini adalah mobil idaman para street tuner dunia.

Mesin 6-silinder twin-turbo RB26 DETT yang diusung menyimpan potensi performa maha dahsyat. Ditambah lagi dengan sistem penggerak all-wheel drive (AWD) Atessa yang membuat karakter berkendara GT-R R34 begitu khas.

Jika diimpor ke AS, harganya bakal melejit nyaris menyenggol Rp 1 miliar!

Nissan Silvia (S15)

Bagi para penyuka drifting, Nissan Silvia adalah salah satu ‘bahan’ yang digemari penyuka goyang pinggul.

Generasi S14 atau dikenal dengan sebutan 240SX merupakan versi terakhir yang resmi dipasarkan di AS. Hal ini terjadi ketika Nissan menghentikan produksi S14 di Negeri Paman Sam pada tahun 1998.

Versi S15 diproduksi di Jepang mulai tahun 1999 dengan label Silvia. Para penyuka drift di AS kini sudah bisa mengimpor Silvia (S15).

Nissan Silvia (S15) tersedia dalam dua varian mesin 4-silinder 2.0-liter, dengan dan tanpa turbo. Mobil berpenggerak roda belakang (RWD) ini tenaga maksimumnya mencapai 250 hp. Harga pasaran mobkasnya di Jepang tak semahal GT-R (R34). Tapi jika diimpor ke AS, biayanya jelas tak sepadan. Belum lagi biaya modifnya…

Mana Yang Cocok Buat Ban, Angin Biasa atau Nitrogen?

Pemilik kendaraan pada dasarnya memiliki dua pilihan untuk mengisi ban, yakni angin biasa atau nitrogen. Namun banyak kontroversi muncul dari penggunaan angin biasa dan akhirnya memilih untuk mengisi bannya dengan nitrogen. Jadi antara angin biasa dan nitrogen, mana yang lebih bagus?

Banyak anggapan bahwa nitrogen jauh lebih bagus dibandingkan dengan angin biasa. Hal ini dikarenakan nitrogen memiliki beberapa keunggulan yang dapat menjaga kualitas ban agar lebih awet dan tahan lama serta menjaga keamanan berkendara. Selain itu, dengan nitrogen, ban terasa jauh lebih ringan dibandingkan ban yang diisi dengan angin biasa di keadaan tertentu. Tapi, kenapa nitrogen lebih unggul?

Nitrogen bebas uap air

Nitrogen merupakan gas murni yang terbebas dari uap air, sedangkan angin biasa bisa mengandung uap air karena tingginya kadar oksigen di dalamnya. Semakin besar kandungan oksigen di dalam angin, semakin tinggi juga kemungkinannya mengikat air.

Ketika ada perubahan suhu, tekanan ban nitrogen lebih stabil dan suhunya lebih rendah dibandingkan oksigen. Saat suhu meningkat, seperti saat kendaraan yang dipacu di kecepatan tinggi, ban yang diisi dengan angin biasa akan terasa lebih berat karena uap air di dalam ban bisa memuai dan menambah tekanan di dalam ban.

Jika pemuaian berlebihan, tekanan pada ban bisa jadi terlalu besar untuk ditahan dan beresiko pecah ban yang membahayakan penggunanya. Sedangkan, untuk ban berisi nitrogen, kecil kemungkinan untuk mengalami pemuaian yang berlebihan, sehingga ban relatif lebih ringan dan aman.

Tekanan ban berpengaruh pada efisiensi bahan bakar

Tekanan ban yang stabil juga merupakan poin optimal bagi kendaraan di perjalanan. Dalam kondisi tekanan ban yang baik, ban akan menempel lebih sempurna di permukaan jalan sehingga membuat konsumsi bahan bakar menjadi lebih efisien.

Selain itu, usia pemakaian nitrogen relatif lebih lama, berkisar antara 2 hingga 3 minggu lebih awet dibandingkan angin biasa. Hal ini dikarenakan molekul nitrogen yang lebih besar dari pada pori-pori karet ban membuat nitrogen tidak mudah keluar, sehingga nitrogen lebih cocok untuk digunakan dalam perjalanan jauh. Jadi Anda pilih angin biasa atau nitrogen?

Punya Mobil Pakai Sunroof? Begini Cara Merawatnya Supaya Awet

Mobil dengan fitur sunroof dan moonroof tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi pemiliknya. Sebab, fitur ini memiliki daya tarik tersendiri karena memberikan kesan mewah saat berkendara. Namun kelengkapan ini perlu perawatan khusus, terutama di negara tropis seperti Indonesia.

Cuaca yang cenderung panas, berdebu, dan berpolusi tinggi pasti amat berpengaruh terhadap komponennya. Berikut ada sejumlah hal penting yang perlu dilakukan dan dihindari oleh para pemilik mobil dengan fitur tersebut.

Hindari Paparan Panas Langsung Terlalu Lama

Hal ini berkaitan dengan performa seal karet dan kelenturannya, sehingga apabila sering dibiarkan kepanasan maka keawetan karet akan lebih pendek. Terlebih karet mudah getas atau kaku yang berakibat tidak lagi menempel dipermukaan kaca dengan baik dan rawan bocor. Untuk itu, parkir mobil di tempat yang sejuk atau menggunakan sarung mobil (car cover).

Pastikan Sunroof Dalam Keadaan Bersih

Memastikan kaca dalam keadaan bersih membuat kaca terhindar dari jamur. Anda butuh mengeringkan kaca dengan segera mungkin apabila terkena air. Karena Indonesia sendiri cenderung berdebu, maka perlu perawatan ekstra untuk menjaga kebersihan kaca.

Perhatikan Kondisi Motor Penggerak Sunroof

Untuk membuka dan menutup kaca sunroof dibutuhkan motor penggerak yang harus bekerja dengan semestinya. Apabila terdapat kendala pada proses buka atau tutup kaca, maka membuat motor bekerja berat. Anda perlu memberikan pelumasan atau pembersiha rel dari kemungkinan adanya daun, debu, atau kerak yang menggumpal.

Pastikan Tertutup Rapat Saat Parkir

Memastikan keamanan dan kenyamanan mobil dengan sunroof adalah menutupnya dengan baik, sehingga menghindari risiko pencurian maupun hewan yang masuk tanpa diketahui.

Jadi, bagi Anda yang memiliki mobil dengan fitur sunroof, alangkah lebih baiknya mencermati sejumlah aspek di atas, sehingga masa penggunaan sunroof dapat bertahan lama dan memberikan rasa nyaman selama berkendara.

Alfasud Sprint 6C, Tenggelam Karena Terjegal Keadaan

Era keemasan reli memang terjadi di tahun 1980an dan kelas Group B menjadi puncaknya. Wajar saja jika sejumlah pabrikan otomotif pun ingin ambil bagian di ajang tersebut. Salah satunya ialah Alfa Romeo yang tergoda untuk masuk ke dunia reli kelas Group B di tahun 1982. Perusahaan yang bermarkas di kota Milan, Italia, ini segera menyiapkan Alfasud Sprint 6C.

Kelas reli dunia Group B meminimalisir batasan teknologi, desain, dan hanya memerlukan sedikit unit mobil yang diproduksi untuk keperluan homologasi. Karena regulasinya tergolong ‘enteng’, maka Alfa Romeo pun termotivasi menciptakan Alfasud untuk keperluan reli Group B.

Bobotnya tak sampai 1 ton

Alfasud Sprint 6C mengambil basis dari Alfasud Sprint yang dimodifikasi secara keseluruhan. Mesin V6 berkapasitas 2.5 liter menggunakan milik Alfa Romeo Alfetta GTV6 yang diletakkan di tengah bodi secara longitudinal, lalu dipadu dengan transaxle 5-speed buatan ZF. Di atas kertas, mobil ini bisa saja kompetitif. Bobotnya hanya 900 kg, top speed mencapai 215 km/jam, dan akselerasi 0-100 km/jam cukup 7,3 detik saja.  

Ramuan yang dilakukan oleh Alfa Romeo ini telah dilakukan oleh Lancia pada mobil reli 037 dan terbukti ampuh dalam berkompetisi. Bahkan, transaxle ZF yang digunakan pada Lancia 037 pun serupa dengan Alfasud Sprint 6C. Sehingga Alfa Romeo merasa yakin untuk bersaing di ‘taman bermain’ yang ganas di kelas Group B.

Skena reli dunia bergeser

Alfa Romeo juga memprediksi bahwa Alfasud Sprint 6C di masa depan akan berevolusi dengan menggunakan mesin V6 3.0 liter, serta dapat digunakan pada mobil balap untuk event Trofeo Sprint Europa. Kombinasi antara mesin bertenaga besar dan dimensi mobil yang tidak terlalu besar tentu menghasilkan rasa berkendara yang mengagumkan. Jika bisa dikendalikan…

Seiring berjalannya waktu, skena reli dunia bergeser secara cepat dan mendahului proyek yang sedang digarap oleh Alfa Romeo ini. Aspek teknologi yang dikembangkan oleh pabrikan lain dalam menggarap mobil reli Group B, benar-benar luar biasa. Sedangkan, apa yang dilakukan oleh Alfa Romeo terkesan konservatif dan dianggap kurang kompetitif. Bahkan sebelum proyek ini selesai dikerjakan.

Memang sudah suratan takdir, jika Alfa Romeo belum waktunya terjun di kelas Group B. Sebab pabrikan ini malah mengalami kendala finansial dan kesulitan administratif. Oleh karenanya, proyek Alfasud Sprint 6C menjadi hal yang bukan diprioritaskan. Sebagai pelengkap derita, reli Group B dihapuskan pada tahun 1986, karena dianggap amat berbahaya dan terlalu banyak kecelakaan fatal.

Dengan berakhirnya reli Group B, maka secara perlahan sosok Alfasud Sprint 6C mulai tenggelam dan dilupakan. Mobil ini menjadi sekeping sejarah otomotif dari eksperimen yang dilakukan oleh Alfa Romeo, namun ide visioner tersebut tidak pernah terealisasi secara sempurna.

Toyota Celica Twincam Turbo, Sakti di Medan Ekstrem Afrika

Empat dekade silam, legenda Kejuaraan Reli Dunia (WRC) lahir seiring adanya medan ekstrem berupa lumpur dan debu hutan Afrika Barat di salah satu acara motorsport yang paling melelahkan, yakni Rallye Côte d’Ivoire. Tepat 40 tahun lalu, legenda WRC bersama Björn Waldegård dan Hans Thorszelius naik podium di kota Abidjan. Legenda tersebut ialah Toyota Celica Twincam Turbo.

Queen of Africa

Pada Rallye Côte d’Ivoire 1983 tersebut ialah awal mula rangkaian kesuksesan yang menjadikan mobil ikonik Grup B ini membawa Toyota sebagai mobil reli yang superior dan dijuluki sebagai Ratu Afrika (Queen of Africa).

Event Rallye Côte d’Ivoire 1983 merupakan kemenangan pertama Celica Twincam Turbo di ajang WRC, sekaligus yang keempat bagi Toyota. Namun Toyota tetap memenangkan lima reli berikutnya di Afrika, termasuk tiga kemenangan berturut-turut pada Safari Rally di Kenya.

Rute sulit sepanjang 4.500 km

Memenangkan reli selalu merupakan sebuah pencapaian, tapi memenangkan Rallye Côte d’Ivoire adalah prestasi yang amat membanggakan. Biasanya, event ini diikuti oleh dari 50 starter, bahkan bisa lebih. Namun, jangan sekali ada 10 starter yang mampu mencapai garis finis. Bahkan pada Rallye Côte d’Ivoire tahun 1972, lebih dari 40 mobil yang berangkat dari gari start dan tidak ada satupun yang berhasil mencapai finis.

Pada event tahun 1983 ini, ada 50 mobil yang masuk dalam daftar peserta. Di depan mata mereka membentang rute sulit sepanjang 4.500 km yang dimulai dan berakhir di Abidjan. Reli ini dimulai pada tanggal 25 Oktober dan berlangsung selama lima hari, membawa kru melintasi bagian tengah dan selatan negara tersebut, dengan tempat peristirahatan di pelabuhan.

Reli sambil bawa gergaji?

Tantangan paling menakutkan terjadi di Taman Nasional Tai seluas 3.300 km². Bahkan kru pendukung tim reli yang biasanya selalu siaga, tidak berani memasuki hutan belantara tersebut. Akhirnya, para peserta reli mengelilingi wilayah tersebut. Tak ketinggalan membawa gergaji untuk memotong pohon yang melintang atau menghalangi rute mereka.

Jalanan berdebu di Côte d’Ivoire (Pantai Gading) cukup menantang saat cuaca cerah, namun ketika hujan tropis datang, seperti yang sering terjadi, kedalaman lumpurnya bisa mencapai menjebak setiap mobil reli yang melintas. Jika terjadi banjir, sudah menjadi risiko yang dapat terjadi kapan saja. Tak sedikit cerita kru pendukung yang terdampar dan harus bermalam di dalam mobil mereka di kala terjadi banjir hebat.

Kokoh dan andal

Potensi risiko tersebut akhirnya membuat Toyota Team Europe mengerahkan kendaraan servis yang akan menunggu di sejumlah titik berisiko tinggi, siap untuk menarik mobil reli untuk dievakuasi dari lumpur. Tidak mengherankan jika Celica Twincam Turbo mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia reli dengan tiga kemenangan dari keikutsertaan di Pantai Gading, pada tahun 1983, 1985 dan 1986, disusul juga dengan kemenangan di Safari Rally dari tahun 1984 hingga 1986.

Terbukti kokoh dan andal, Toyota Celica Twincam Turbo yang bermesin depan dan berpenggerak roda belakang, sangat ideal untuk jalanan Afrika. Protection Bar bagian depan, disertai dengan enam lampu depan tambahan untuk menembus kegelapan di perjalanan rute.

Masih berlanjut dengan Celica GT-Four

Björn Waldegård, maka Toyota Celica Twincam Turbo seperti berada di tangan yang tepat, Sebab, ia amat suka mengendarai mobil reli yang berpenggerak roda belakang. Teknologinya yang tergolong sederhana, sangat kontras dengan mobil Grup B yang berpenggerak empat roda, berbobot ringan, namun perawatannya amat tinggi.

Seri reli 1986 menjadi musim terakhir bagi Toyota, setelah berakhirnya era Grup B yang spektakuler namun amat berbahaya. Namun Toyota tidak tinggal diam, sebab mesin Twincam Turbo dikembangkan untuk digunakan oleh generasi mobil reli selanjutnya. Bahkan sempat memenangkan Kejuaraan Dunia. Cerita kesuksesan Toyota di ajang reli dunia terbukti masih berlanjut bersama Celica GT-Four…

NSU Uruguay: Station Wagon ‘Seadanya’

Bentuknya benar-benar tidak atraktif, tapi NSU Uruguay ini menjadi salah satu produk paling ‘eksotis’ yang pernah dibuat oleh NSU. Ini adalah pabrikan otomotif asal Jerman, yang berdiri pada 1873. Kemudian diakuisisi oleh VW tahun 1969, lalu dimerger dengan Audi menjadi Audi NSU Auto Union AG. VW lalu menghilangkan nama NSU, hingga sekarang tinggal Audi. 

Berangkat dari konsep awal sebuah mobil station wagon yang sederhana dan tidak neko-neko, NSU Uruguay ini diproduksi antara tahun 1969 hingga 1971. Ide mobil ini bermula dari importir NSU di kota Montevideo, Uruguay, yang membuat sekitar 500 unit mobil station wagon sederhana dalam versi P6 dan P10.

Eksteriornya kelewat sederhana. Penuh garis tegas, seolah digambar dengan menggunakan penggaris anak sekolah dasar. Desain NSU Uruguay ini sama sekali tidak selaras dengan produk NSU lainnya yang dibuat di era 1960an. Seperti Wankel Spider, Prinz atau Sport Prinz.

Awalnya, Quintanar, importir NSU di Uruguay mulai memproduksi sendiri dan menjual mobil station wagon di tahun 1968. ‘Bahan dasar’ mobil ini berbasis NSU Prinz 4 dengan mesin 2 silinder.

NSU Prinz, basis dari NSU Uruguay

Mesin NSU Prinz 1000 tidak muat

Di akhir tahun 1968 tersebut, Quintanar berhasil menjual 140 unit mobil station wagon karya mereka. Importir NSU ini ingin menjual unit yang lebih banyak, khususnya dengan mesin 4 silinder yang lebih bertenaga. Pihak Quintanar pun berdiskusi dengan jajaran manajemen NSU di Neckarsulm, Jerman, pada bulan Mei 1969.

Hasilnya, bodi ‘kosong’ pun dikirim dari Montevideo ke Neckarsulm, untuk dibuat sebagai unit prototipe. Ternyata mesin 4 silinder milik NSU Prinz 1000 tidak akan muat di kompartemen, tanpa adanya modifikasi besar. Langkah edan pun diambil, posisi mesin dipindahkan ke bagian belakang. Pihak Quintanar sepertinya tidak masalah jika ruang mesin di belakang bakal menggerus kapasitas bagasi.

Tak kurang dari 500 unit dibuat

Departemen Pengembangan Teknis NSU di Neckarsulm pun geleng-geleng kepala dengan keputusan Quintanar itu. Meski begitu, sekitar 500 unit station wagon dibuat di Uruguay, dalam varian P6 dan P10, sepanjang tahun 1969 sampai 1971. Sayangnya, NSU tidak melanjutkan bisnisnya di negara tersebut pada tahun 1971 dan akhirnya perjalanan produksi NSU Uruguay pun berhenti.   

Station wagon ini menggunakan mesin 4 silinder 1.0 liter yang bertenaga 43 hp. Mesin berpendingin udara tersebut mampu membawa station wagon unik ini hingga top speed 120 km/jam. Konsumsi bahan bakarnya sekitar 6,5 hingga 7,5 liter per 100 km.