Sepucuk press realease mendarat di redaksi Motomobi News beberapa hari yang lalu. Isinya mengabarkan kalau Honda Aircraft Company, salah satu anak perusahaan Honda yang khusus membuat pesawat, akan ekspansi ke Amerika Serikat dengan pesawat jet baru, HondaJet 2600 .
Bahwa Honda sekarang membuat pesawat itu berita lama. Yang menggelitik kami adalah, bagaimana perusahaan yang awalnya dikenal sebagai pembuat motor murah yang reliable dan irit BBM, bisa berkembang bikin pesawat. Untuk itu, kami menggali berbagai referensi dan menemukan kalau Soichiro Honda, pendiri perusahaan, ternyata pekerjaan pertamanya adalah baby sitter. Ya, penjaga anak bayi.
Diawali ketika Soichiro Honda yang berasal dari keluarga miskin kelahiran 17 November 1906, melamar pekerjaan ke bengkel terkenal di Tokyo, Jepang tahun 1922. Nama bengkelnya Art Shokai. Saat itu umurnya baru 15 tahun, meninggalkan bangku sekolah dan pergi dari kampungnya di Tenryu, Shizuoka. Demi penghidupan yang lebih baik.
Dari Pengasuh Jadi Mekanik Kepercayaan
Berbekal minat dan bakat otomotif yang ia dapat sejak kecil, Art Shokai merespon surat lamarannya. Namun bukannya pekerjaan mekanik, ia diperkerjakan sebagai pengasuh anak Yuzo Sakakibara, pemilik bengkel. Kecewa tapi ia bertahan karena malu mau pulang kampung sebagai orang yang gagal. Beberapa bulan ia bekerja menggendong anak.
Art Shokai berkembang pesat, Sakakibara mulai meminta Honda untuk bekerja di bengkel. Mulanya hanya melakukan pekerjaan ringan. Lama kelamaan ia mulai dipercaya sebagai mekanik. Kerja keras dan kepintarannya menarik perhatian Sakakibara dan menempatkan Honda sebagai orang kepercayaan.
Honda dilatih tidak hanya untuk jadi mekanik utama, tapi juga sebagai pengelola bisnis bengkel. Tentu kesempatan ini tidak dibiarkan begitu saja. Meski di Jepang saat itu masih minim yang namanya mobil, tapi Soichiro Honda memperhatikan betul seperti apa Daimler, Mercedes, Lincoln hingga motor yang mampir ke bengkel. Ini yang jadi modal besarnya di kemudian hari.
Saat bekerja untuk Art Shokai juga, ia berkesempatan mencicipi ganasnya motorsport. Sakakibara mulai membangun mobil untuk balapan pada tahun 1923. Mobil pertama bernama Art Daimler. Dibangun menggunakan suku cadang bekas mobil Daimler. Lalu hadir Curtiss, yang juga memanfaatkan mesin bekas. Tapi bekas pesawat terbang Curtiss bikinan Amerika Serikat. Chassisnya menggunakan mobil Amerika, Mitchell. Kedua merek itu sekarang sudah tidak ada.
Curtiss menang kejuaraan balap Jepang pada 1924. Dikendalikan oleh adik Sakakibara, bersama Soichiro bertugas sebagai engineer-nya. Inilah pengalaman yang paling berpengaruh bagi Soichiro yang umurnya baru 17 tahun.
Art Shokai Buka Cabang
Sesuai peraturan Jepang waktu itu, umur 19, setiap laki-laki harus masuk wajib militer. Namun Soichiro Honda dikecualikan karena saat tes kesehatan ia gagal. Ia diduga buta warna. Dengan begitu, Honda bisa fokus bekerja mengembangkan bengkel. Tahun 1928, Yuzo Sakakibara ingin membuka cabang di Hamamatsu. Honda ditunjuk sebagai penanggung jawab di bengkel baru ini.
Tidak mudah, Honda benar-benar seorang diri membuka bengkel. Order pun tidak banyak. Ini karena orang Jepang tidak percaya pada anak baru yang berumur 21 tahun.
Pekerjaan yang ia terima pun tidak jauh dari pekerjaan ‘lemparan’ dari bengkel lain. Tapi semua ia kerjakan dengan tekun. Pada era 1930-an, bengkel yang tadinya hanya sendiri, jadi punya 30 pekerja.
Jangan lupakan juga, ia adalah penyuka balapan dan bisa mengendarai mobil balap. Tidak heran, di dalam bengkelnya ia membuat mobil balap bernama Hamamatsu Race Car. Ini mobil yang ia set untuk memecahkan rekor kecepatan. Mobil balap Hamamatsu mencetak laju 120 km/jam, dengan Honda di balik kemudi. Rekor yang bertahan hingga 20 tahun di Jepang.
Apes, ia tabrakan hebat dan menghabiskan waktu beberapa bulan di rumah sakit. Begitu sembuh, ia balik balapan lagi. Suatu hal yang ditentang habis-habisan oleh istri dan ayahnya. Soichiro Honda pun mengalah. Tahun 1936 ia berhenti balapan. Dan saat itu, ia mulai bosan.
Bikin Piston
Soichiro Honda mengusulkan supaya Art Shokai membuka anak perusahaan baru yang khusus membuat suku cadang mobil. Tentu ide ini ditentang oleh para pemilik saham. Mereka berpendapat, order pekerjaan yang menumpuk sudah bisa memberikan profit. Untuk apa bertaruh lagi di arena yang mereka tidak familiar?
Ya sudah, Honda lalu membuat perusahaan sendiri yang bidangnya membuat ring piston. Perusahaan ini diberi nama Tokai Seiki Heavy Industry. Sebagai pimpinan, karena ia masih bekerja untuk Art Shokai, ditunjuk teman dekatnya, Shiciro Kato sebagai pemimpin perusahaan.
Berdua, mereka melakukan riset soal pembuatan ring piston. Tentunya tidak mudah. Namun keduanya kerja keras. Soichiro sampai kehilangan berat badan setelah dua tahun melakukan trial and error, hanya untuk membuat seher yang pas dan bisa diterima pasar otomotif setempat. Honda bahkan sampai mendaftar sebagai mahasiswa paruh waktu di universitas Hamamatsu. Ini dilakukan untuk mendalami soal metalurgi.
Tahun 1939 akhirnya ia sukses membuat piston yang bisa berfungsi. Lantas ia keluar dari Art Shokai untuk fokus di perusahaan barunya. Namun ingat. Pistonnya baru berfungsi. Sesuai standar industri? Belum. Ia lalu berkeliling Jepang, mengunjungi pabrik baja dan universitas.
Kegigihan dan kesabaran Honda terbayar. Ia sukses bikin piston yang bisa diandalkan. Pesanan pun bergulir. Namun kemudian terhenti. Perang dunia kedua menghadang dan pabrik Seichiro Honda dikuasai oleh pemerintah Jepang.
Tidak hanya itu, karena pabriknya adalah industri strategis, kena hajar juga oleh bom sekutu. Anak buah Honda, kalau tidak resign karena harus ikut perang, tewas kena bom. Belum lagi gempa bumi melanda beberapa bulan sebelum Jepang akhirnya menyerah pada tahun 1945. Soichiro pun memutuskan untuk mundur. Ia menjual apa yang tersisa dari pabriknya kepada Toyota.
Hal Sederhana Menginspirasi
Namanya setelah perang, kehidupan pasti serba susah. Ini juga berlaku untuk Soichiro. Bahan bakar dijatah, bahan makanan dan pakaian sulit didapat. Ia kesulitan menghidupi keluarganya.
Harapan datang saat ia menemukan sebuah generator (genset) untuk menghidupkan radio tentara Jepang. Dasarnya memang ‘kepo’, Honda membongkar dan mencoba memahami cara kerjanya. Dari sinilah ia mendapat ide brilian. Bagaimana kalau genset ini dipasang di sepeda?
Sepeda dengan motor tempel memang bukan barang baru, tapi Soichiro Honda paham betul negaranya perlu moda transportasi yang murah. Ia lalu memanfaatkan gudang lamanya, lalu mendirikan Honda Technical Research Institute. Tujuannya satu, bagaimana menghasilkan kendaraan roda dua bermotor.
Bersama 12 rekannya, ia sukses membuat sepeda dengan mesin tempel. Mesinnya tidak dibuat, tapi memanfaatkan yang ia temukan. Tidak disangka, sepeda bermotor ini diminati banyak orang Jepang. Order pun berdatangan dari berbagai pelosok negeri. Dan ia pun mulai kehabisan stok mesin bekas.
Tahun 1947, memutuskan untuk membuat mesin sendiri, berbekal pengalaman dan pengetahuan. Lahirlah sepeda motor Honda Type-A. Setahun kemudian, Honda Motor Company didirikan. Misinya hanya membantu orang Jepang untuk bergerak dengan leluasa. Masalahnya, ia tidak punya uang untuk mengembangkan usaha ini.
Jalan keluarnya, ia meminta bantuan kepada hampir semua penjual sepeda di Jepang. Gayung bersambut, para penjual sepeda ini setuju untuk memberikan modal usaha kepada Honda. Setahun kemudian, Honda muncul dengan bentuk motor sepenuhnya, bernama Model-D.
Tapi karena motornya berat dan besar, tidak terlalu laku. Tentunya, Soichiro tidak puas. Ia mendesain ulang dan perlu waktu tiga tahun sebelum akhirnya muncul motor yang bisa diterima. Namanya Honda Super Cub.
Motor ini sukses besar hingga Kaisar Jepang pun suka. Kemudian ia berjumpa dengan rekanan baru, Takeo Fujisawa. Ia bukan hanya menanamkan modal, tapi membuat landasan marketing dan finansial.
Mengacak Pasar Amerika Serikat
Tahun 1958, Honda Super Cub mendarat di Amerika. Harganya waktu itu hanya US $269 saja. Seperempat dari harga kebanyakan motor di negara itu. Biarpun kecil, tapi karena digenjot oleh kampanye marketing yang mumpuni, langsung laris.
Di rentang waktu yang sama, Soichiro juga gatal untuk menurunkan Honda ke arena balap. Tidak sembarangan, ia melakukan riset dulu. Jatuh bangun itu pasti, hingga kegigihannya terbayarkan pada 1959, saat tim Honda menang di balapan bergengsi Isle of Man TT. Dua tahun kemudian mereka menang lagi di tempat yang sama. Nama motor Honda pun masuk perhitungan.
Masuk era 1960-an, Honda menjadi produsen motor terbesar di dunia. Tahun 1968, total produksi mereka mencapai 10 juta unit. Tapi Soichiro belum puas. Ia ingin memuaskan hasrat yang ia pendam sejak berumur delapan tahun: Membuat mobil.
Waktu yang Tepat
Pastinya, niat ini mendapat tantangan. Bahkan pemerintah Jepang pun sampai mencoba meyakinkan Soichiro, “Jepang tidak butuh pabrikan mobil lagi.” Ini karena sudah ada Nissan, Toyota dan berbagai pabrikan lainnya yang berkompetisi di pasar yang sempit.
Tanpa peduli apa kata orang, Honda menggelontorkan T360, pikap kecil yang bisa diandalkan. Tapi tidak laku. Lalu muncul mobil sport S500. Lumayan. Terjual 1.300 unit. Lalu ia melangkah lebih berani, menerjunkan Honda di balap mobil.
Tidak tanggung, langsung ikut F1 di balapan Belgia tahun 1964. Mobilnya bernama Honda RA 271. Tidak terlalu berhasil. Tapi setahun kemudian, dengan mobil baru, RA272, Honda mencicipi manisnya kemenangan di GP Mexico.
Namun karena masih terseok di pasar otomotif umum, Honda mundur dulu dari balapan dan fokus mengembangkan mobil masal. Tahun 1972, muncul mobil legendaris, Honda Civic. Kemunculannya dibarengi teknologi CVCC yang mumpuni untuk menghemat BBM, serta waktu yang pas. Saat itu, dunia dilanda krisis minyak bumi. Civic yang irit langsung bisa diterima di pasar besar seperti Eropa dan Amerika Serikat. Lalu muncul Honda Accord. Iritnya sama tapi ukurannya lebih moderat. Tentu sukses juga.
Kini, segalanya berjalan cepat. Honda memproduksi bukan cuma mobil atau motor. Ada mesin potong rumput, genset, motor tempel untuk kapal dan sejak 2003, bikin pesawat jet pribadi.
“Kalau melihat apa yang telah saya kerjakan, sepertinya hanya bikin salah, blunder dan lalai. Tapi saya bangga dengan apa yang diraih. Meski saya kerap melakukan kesalahan, tapi kesalahan dan kegagalan itu tidak pernah muncul dengan alasan yang sama,” begitu ucapan Soichiro Honda.
Soichiro Honda pensiun tahun 1973, dan meninggal dunia pada 1991.